Catatan Kampus Cikabayan
Di tengah narasi global tentang
perlindungan ekosistem lahan basah, kita sering kali dihadapkan pada pertanyaan
mendalam tentang keseimbangan antara konservasi alam dan ketahanan pangan
manusia. Lahan basah, termasuk hutan rawa, dianggap sebagai wilayah dengan
nilai ekologis yang tak tergantikan. Namun, di balik seruan perlindungan yang
bergema di forum-forum internasional, ada satu realitas yang kerap terabaikan:
ketahanan pangan kita yang semakin terancam akibat pembatasan yang diletakkan
pada pemanfaatan lahan tersebut. Apakah perlindungan lahan basah dengan segala
klaim ekologisnya akhirnya justru mengabaikan hak dasar manusia untuk hidup dan
bertahan dengan bermartabat?
Di pesisir Sungai Pidada,
Provinsi Lampung, kisah Kartijo, seorang lelaki tua berusia 85 tahun asal
Banyuwangi, mengungkapkan ketegangan yang nyata antara narasi perlindungan dan
kebutuhan dasar manusia. Pada tahun 1964, Kartijo muda yang miskin, merantau ke
Gunung Balak, Provinsi Lampung dengan harapan dapat memperbaiki hidupnya. Problem
land tenure, menjadi sebab beliau mengikuti program transmigrasi lokal
pada tahun 1990-an, ke Desa Aji Mesir, Kec. Gedung Aji, Kab. Tulang Bawang, Lampung.
Pada tahun 1995, dengan alat-alat sederhana seperti parang, kampak, dan linggis
ia mulai membuka hutan rawa yang masam yang dipenuhi pohon gelam (Melaleuca
leucadendron) untuk dijadikan sawah seluas dua hektar. Tanpa bantuan alat
berat, tanpa dukungan teknis besar, hanya dengan ketekunan, ia berhasil
mengubah tanah asam tersebut menjadi lahan subur bagi tanaman padi selama empat
tahun awal.