Minggu, 04 Mei 2025

Inisiatif Komunitas Stasiun Cuaca: Kontribusi, Tantangan, dan Masa Depan untuk Pertanian

 

Di Indonesia, data dan informasi cuaca secara resmi disediakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), yang berperan sebagai sumber utama data cuaca nasional. Namun, cakupan stasiun cuaca BMKG, terutama di daerah pedesaan dan wilayah terpencil, sering kali terbatas, sehingga data yang dihasilkan kurang dapat menggambarkan kondisi mikroklimatik setempat. Padahal, sektor pertanian dan perkebunan sangat membutuhkan data spesifik untuk mendukung aktivitas mereka, terutama dalam menghadapi tantangan ketidakpastian cuaca akibat perubahan iklim. Keterbatasan akses terhadap data cuaca yang akurat dapat menghambat pengambilan keputusan yang efektif dalam pertanian, yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia.

Sapaan dari Kesetian pada Tanah

Catatan Kampus Cikabayan

Untuk Pak Wardiyono, Petani Sejati dari Klaten

Di tengah bentangan lumpur yang hening, bapak petani berdiri tegak, tangannya terangkat, menyapa langit, menyapa kita. Ia bukan hanya lelaki dengan cangkul di tangan dan caping di kepala, ia adalah penjaga harapan, pelukis kehidupan di atas tanah yang basah dan sunyi.

Kamis, 01 Mei 2025

Janji Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Mimpi Kedaulatan Pangan?

 Catatan Kampus Cikabayan


Di balik jendela gerbong kereta menuju Cirebon pada medio Maret 2025, petak-petak sawah terbentang seperti permadani hijau yang menua. Tapi pemandangan itu kian hari kian terpotong aspal, tertutup beton, terganti papan proyek. Suara air yang dulu mengalir di petakan-petakan itu kini tenggelam oleh deru ekskavator. Sejak Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 diundangkan, harapan akan tegaknya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) menjulang seperti padi siap panen. Namun, kenyataan di lapangan sering kali tak seindah teks hukum. Ketika nomenklatur bertarung antara LSD (Lahan Sawah Dilindungi) dan LP2B yang tersisa hanya kebingungan administratif dan lubang-lubang di lahan sawah yang tak lagi lestari. Dalam bayang-bayang ambisi pembangunan dan jargon hilirisasi, sawah-sawah di Pulau Jawa perlahan menjadi artefak. Jika LP2B hanya menjadi angka dalam Perda yang tak ditegakkan, jika peta hanya dihias dengan garis imajiner tanpa suara petani, lalu untuk siapa sebenarnya kita membangun regulasi? Petani, atau para pemilik kepentingan?

Minggu, 27 April 2025

“Barongan Pring”, Barisan Turi dan Hembusan Angin

 Catatan Kampus Cikabayan


Barongan ini berbeda dengan barongsai ataupun tari barong dari bali, walaupun ketiganya adalah produk dari peradaban.  Saat penulis masih tinggal di pedesaan Malang Selatan, istilah “Barongan” merujuk pada rumpun bambu. Di tempat lain ada yang menyebutnya dengan “Greng”. Di tatar Sunda disebut dengan “Dapuran Awi” yang berarti rumpun bambu. Bagi penulis, barongan adalah sejenis hutan kecil yang menyimpan banyak rahasia. Dulu, ketika penulis masih usia kanak-kanak, barongan itu terasa angker, seakan-akan ada misteri yang tersembunyi di balik kerimbunannya. Namun kini, setelah beranjak dewasa, ia menawarkan kesejukan dan keteduhan yang menenangkan. Setiap insan yang menatapnya pasti merasakan kehadiran yang berbeda, sesuai dengan perjalanan batinnya masing-masing. Di antara rerimbunan bambu, kita bisa merasakan hirupan udara yang lebih segar, seolah alam berbisik perlahan, menenangkan jiwa.

Di Antara Hutan Rawa dan Sawah: Perlindungan Ekosistem vs Hak Dasar Pangan?

 Catatan Kampus Cikabayan

Di tengah narasi global tentang perlindungan ekosistem lahan basah, kita sering kali dihadapkan pada pertanyaan mendalam tentang keseimbangan antara konservasi alam dan ketahanan pangan manusia. Lahan basah, termasuk hutan rawa, dianggap sebagai wilayah dengan nilai ekologis yang tak tergantikan. Namun, di balik seruan perlindungan yang bergema di forum-forum internasional, ada satu realitas yang kerap terabaikan: ketahanan pangan kita yang semakin terancam akibat pembatasan yang diletakkan pada pemanfaatan lahan tersebut. Apakah perlindungan lahan basah dengan segala klaim ekologisnya akhirnya justru mengabaikan hak dasar manusia untuk hidup dan bertahan dengan bermartabat?

Di pesisir Sungai Pidada, Provinsi Lampung, kisah Kartijo, seorang lelaki tua berusia 85 tahun asal Banyuwangi, mengungkapkan ketegangan yang nyata antara narasi perlindungan dan kebutuhan dasar manusia. Pada tahun 1964, Kartijo muda yang miskin, merantau ke Gunung Balak, Provinsi Lampung dengan harapan dapat memperbaiki hidupnya. Problem land tenure, menjadi sebab beliau mengikuti program transmigrasi lokal pada tahun 1990-an, ke Desa Aji Mesir, Kec. Gedung Aji, Kab. Tulang Bawang, Lampung. Pada tahun 1995, dengan alat-alat sederhana seperti parang, kampak, dan linggis ia mulai membuka hutan rawa yang masam yang dipenuhi pohon gelam (Melaleuca leucadendron) untuk dijadikan sawah seluas dua hektar. Tanpa bantuan alat berat, tanpa dukungan teknis besar, hanya dengan ketekunan, ia berhasil mengubah tanah asam tersebut menjadi lahan subur bagi tanaman padi selama empat tahun awal.