(Refleksi atas Teknologi Modifikasi Cuaca di Indonesia, sebuah catatan dari Kampus Cikabayan)
Beberapa tahun terakhir, langit Indonesia semakin sering
disentuh tangan manusia. Di negeri yang sejak lama menjadikan hujan sebagai
lambang keberkahan dan musim sebagai penentu hidup-mati panen, kini awan
diperlakukan seperti mesin yang bisa dikendalikan dengan perintah sains.
Doa-doa yang dulu dilantunkan di sawah, nyanyian musim yang diwariskan para
leluhur, dan pengetahuan lokal yang membaca arah angin dan tingkah hewan,
perlahan tersisih oleh deru pesawat penyemaian dan angka curah hujan dalam
spreadsheet. Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) hadir dengan janji pengendalian,
bukan penghayatan. Dari banjir Jakarta hingga kebakaran lahan di Kalimantan,
dari krisis air bersih hingga kekeringan sawah, TMC tampil sebagai “senjata
pintar” negara untuk menjinakkan krisis hidrometeorologi. Klaim keberhasilannya
pun terdengar mengesankan: hujan berhasil diturunkan di kawasan waduk, banjir
berhasil dihindari, asap kebakaran hutan berhasil ditekan. Namun di balik semua
itu, tersisa pertanyaan yang makin mendesak, benarkah kita sedang mengatasi
masalah, atau justru sedang menyiram permukaan sambil membiarkan akar persoalan
membusuk?