Minggu, 17 Agustus 2025

AWS Komunitas: Manifesto Sains Partisipatif untuk Kedaulatan Pangan

Catatan Kampus Cikabayan


Sistem pertanian nasional menghadapi tantangan berlapis seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, lemahnya sistem data, hingga minimnya akses teknologi dan peringatan dini yang menjangkau petani kecil. Di tengah kondisi tersebut, muncul inisiatif komunitas berupa stasiun cuaca otomatis (AWS) berbasis komunitas yang memungkinkan produksi data iklim secara mandiri, transparan, dan sesuai kebutuhan lokal. Data iklim pun berubah menjadi pengetahuan bersama yang memperkuat kapasitas adaptasi petani.

Dari semangat itu lahirlah gagasan membangun wadah bersama yang menampung, mengolah, dan membagikan data komunitas, yang diwujudkan melalui platform map.sinaubumi.org dan sinoptik.ipb.ac.id. Platform ini memanifestasikan sains partisipatif dengan mempertemukan data iklim global dan lokal, sekaligus menempatkan petani sebagai produsen maupun pengguna pengetahuan. Kebutuhan prediksi iklim, seperti awal musim tanam, panjang musim hujan, dan potensi periode kering, dapat dijawab melalui jaringan AWS komunitas, yang memberikan informasi lebih spesifik pada skala lokal dan membantu petani mengambil keputusan tepat dalam waktu tanam, pemilihan varietas, hingga strategi pengendalian hama dan penyakit dan budidaya.

Kamis, 07 Agustus 2025

Menyemai Awan, Mengabaikan Akar

(Refleksi atas Teknologi Modifikasi Cuaca di Indonesia, sebuah catatan dari Kampus Cikabayan)


Beberapa tahun terakhir, langit Indonesia semakin sering disentuh tangan manusia. Di negeri yang sejak lama menjadikan hujan sebagai lambang keberkahan dan musim sebagai penentu hidup-mati panen, kini awan diperlakukan seperti mesin yang bisa dikendalikan dengan perintah sains. Doa-doa yang dulu dilantunkan di sawah, nyanyian musim yang diwariskan para leluhur, dan pengetahuan lokal yang membaca arah angin dan tingkah hewan, perlahan tersisih oleh deru pesawat penyemaian dan angka curah hujan dalam spreadsheet. Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) hadir dengan janji pengendalian, bukan penghayatan. Dari banjir Jakarta hingga kebakaran lahan di Kalimantan, dari krisis air bersih hingga kekeringan sawah, TMC tampil sebagai “senjata pintar” negara untuk menjinakkan krisis hidrometeorologi. Klaim keberhasilannya pun terdengar mengesankan: hujan berhasil diturunkan di kawasan waduk, banjir berhasil dihindari, asap kebakaran hutan berhasil ditekan. Namun di balik semua itu, tersisa pertanyaan yang makin mendesak, benarkah kita sedang mengatasi masalah, atau justru sedang menyiram permukaan sambil membiarkan akar persoalan membusuk?