Kamis, 07 Agustus 2025

Menyemai Awan, Mengabaikan Akar

(Refleksi atas Teknologi Modifikasi Cuaca di Indonesia, sebuah catatan dari Kampus Cikabayan)


Beberapa tahun terakhir, langit Indonesia semakin sering disentuh tangan manusia. Di negeri yang sejak lama menjadikan hujan sebagai lambang keberkahan dan musim sebagai penentu hidup-mati panen, kini awan diperlakukan seperti mesin yang bisa dikendalikan dengan perintah sains. Doa-doa yang dulu dilantunkan di sawah, nyanyian musim yang diwariskan para leluhur, dan pengetahuan lokal yang membaca arah angin dan tingkah hewan, perlahan tersisih oleh deru pesawat penyemaian dan angka curah hujan dalam spreadsheet. Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) hadir dengan janji pengendalian, bukan penghayatan. Dari banjir Jakarta hingga kebakaran lahan di Kalimantan, dari krisis air bersih hingga kekeringan sawah, TMC tampil sebagai “senjata pintar” negara untuk menjinakkan krisis hidrometeorologi. Klaim keberhasilannya pun terdengar mengesankan: hujan berhasil diturunkan di kawasan waduk, banjir berhasil dihindari, asap kebakaran hutan berhasil ditekan. Namun di balik semua itu, tersisa pertanyaan yang makin mendesak, benarkah kita sedang mengatasi masalah, atau justru sedang menyiram permukaan sambil membiarkan akar persoalan membusuk?