(Refleksi atas Teknologi Modifikasi Cuaca di Indonesia, sebuah catatan dari Kampus Cikabayan)
Secara ilmiah, TMC bukan sekadar sulap. Ia didasarkan pada
prinsip fisika atmosfer, menaburkan partikel seperti perak iodida atau natrium
klorida ke awan berpotensi mempercepat proses kondensasi dan menghasilkan
hujan. Di atas kertas, ini masuk akal. Namun, dalam praktiknya, keberhasilan
TMC sangat bergantung pada faktor-faktor yang tidak bisa dikendalikan
sepenuhnya: struktur dan suhu awan, kelembaban vertikal, arah angin, hingga
ketepatan waktu penyemaian. Berbagai penelitian, baik di Indonesia maupun negara-negara
seperti Australia dan Amerika Serikat, menunjukkan bahwa peningkatan curah
hujan akibat TMC rata-rata berkisar antara 5 hingga 20 persen, itu pun dengan
ketidakpastian statistik yang tinggi (Silverman, 2003; Flossmann et al., 2018;
GAO, 2024; JSTMC, 2022). Dengan kata lain, efektivitasnya bersifat kontekstual,
bergantung pada atmosfer yang tidak selalu dapat dikendalikan atau diprediksi.
Namun persoalan menjadi lebih pelik ketika TMC mulai
digunakan secara luas sebagai solusi utama atas bencana hidrometeorologi.
Banjir yang terjadi akibat rusaknya daerah aliran sungai, pendangkalan kanal,
atau konversi lahan hijau, kini sering dijawab dengan penyemaian awan.
Kekeringan yang disebabkan oleh sistem irigasi yang mangkrak dan degradasi
tanah dijawab dengan hujan buatan. Dalam lanskap seperti ini, TMC tidak lagi
sekadar teknologi, melainkan paradigma: kita memilih menyentuh langit, bukan
memperbaiki bumi. Solusi teknis diutamakan, sementara akar ekologis dan sosial
dari bencana diabaikan.
Sementara itu, anggaran untuk TMC terus meningkat. Pada
2024, BMKG menerima tambahan anggaran sebesar Rp25 miliar, sebagian besar
dialokasikan untuk operasi dan tata kelola modifikasi cuaca (Antaranews, 2024).
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengalokasikan Rp4,2 miliar dalam satu musim
hujan (TVOneNews, 2024), dan operasi di Ibu Kota Nusantara menghabiskan Rp9
miliar hanya dalam dua minggu (Kompas IKN, 2024). Meski nilainya terus tumbuh,
belum tersedia sistem evaluasi publik dan independen yang mampu mengukur
efektivitas TMC secara kausal. Keberhasilan lebih sering dinyatakan secara
observasional "hujan turun setelah disemai" tanpa membandingkan
dengan wilayah kontrol atau melakukan simulasi cuaca alternatif. Padahal, dalam
ilmu atmosfer, korelasi tidak selalu berarti kausalitas.
Di sinilah kita melihat bayangan bias teknokratis, ketika
segala sesuatu dinilai berhasil karena bisa dikerjakan cepat, terlihat canggih,
dan dapat disiarkan dalam konferensi pers. Namun solusi seperti ini sering tak
menyentuh persoalan paling mendasar. Awan ditaburi, tapi kanal tetap tersumbat.
Curah hujan disebar, tapi lahan resapan terus dialihfungsikan. Kita merayakan
keberhasilan menyemai langit, sembari membiarkan tanah tetap retak, struktur
tetap timpang. Dalam situasi seperti ini, TMC tidak lagi hanya teknologi, ia
menjadi pengalihan tanggung jawab struktural.
Tentu TMC bukan harus dihapus atau ditolak mentah-mentah.
Dalam situasi darurat, teknologi ini dapat berfungsi sebagai alat bantu. Namun
ia tidak bisa berdiri sendiri. Pengelolaan air, perbaikan irigasi, perlindungan
hulu DAS, dan penataan ruang adalah fondasi yang tak tergantikan. Kebijakan
yang berpijak pada sains semestinya juga berpijak pada kesadaran ekologis dan
keadilan sosial. Kita boleh menyemai awan, tetapi jangan sampai lupa, akar
masalah tetap berada di tanah. Tradisi nusantara tidak pernah mengendalikan dan
menaklukkan alam, melainkan mencari harmoni bersama alam. Maka, bila kita
benar-benar ingin membangun ketahanan, pertanyaannya bukan lagi sekadar:
bagaimana membuat hujan turun? Tapi: bagaimana kita hidup berdampingan dengan
alam, tanpa perlu menguasainya.
(Sibu Bayan)