Kamis, 07 Agustus 2025

Menyemai Awan, Mengabaikan Akar

(Refleksi atas Teknologi Modifikasi Cuaca di Indonesia, sebuah catatan dari Kampus Cikabayan)


Beberapa tahun terakhir, langit Indonesia semakin sering disentuh tangan manusia. Di negeri yang sejak lama menjadikan hujan sebagai lambang keberkahan dan musim sebagai penentu hidup-mati panen, kini awan diperlakukan seperti mesin yang bisa dikendalikan dengan perintah sains. Doa-doa yang dulu dilantunkan di sawah, nyanyian musim yang diwariskan para leluhur, dan pengetahuan lokal yang membaca arah angin dan tingkah hewan, perlahan tersisih oleh deru pesawat penyemaian dan angka curah hujan dalam spreadsheet. Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) hadir dengan janji pengendalian, bukan penghayatan. Dari banjir Jakarta hingga kebakaran lahan di Kalimantan, dari krisis air bersih hingga kekeringan sawah, TMC tampil sebagai “senjata pintar” negara untuk menjinakkan krisis hidrometeorologi. Klaim keberhasilannya pun terdengar mengesankan: hujan berhasil diturunkan di kawasan waduk, banjir berhasil dihindari, asap kebakaran hutan berhasil ditekan. Namun di balik semua itu, tersisa pertanyaan yang makin mendesak, benarkah kita sedang mengatasi masalah, atau justru sedang menyiram permukaan sambil membiarkan akar persoalan membusuk?

Secara ilmiah, TMC bukan sekadar sulap. Ia didasarkan pada prinsip fisika atmosfer, menaburkan partikel seperti perak iodida atau natrium klorida ke awan berpotensi mempercepat proses kondensasi dan menghasilkan hujan. Di atas kertas, ini masuk akal. Namun, dalam praktiknya, keberhasilan TMC sangat bergantung pada faktor-faktor yang tidak bisa dikendalikan sepenuhnya: struktur dan suhu awan, kelembaban vertikal, arah angin, hingga ketepatan waktu penyemaian. Berbagai penelitian, baik di Indonesia maupun negara-negara seperti Australia dan Amerika Serikat, menunjukkan bahwa peningkatan curah hujan akibat TMC rata-rata berkisar antara 5 hingga 20 persen, itu pun dengan ketidakpastian statistik yang tinggi (Silverman, 2003; Flossmann et al., 2018; GAO, 2024; JSTMC, 2022). Dengan kata lain, efektivitasnya bersifat kontekstual, bergantung pada atmosfer yang tidak selalu dapat dikendalikan atau diprediksi.

Namun persoalan menjadi lebih pelik ketika TMC mulai digunakan secara luas sebagai solusi utama atas bencana hidrometeorologi. Banjir yang terjadi akibat rusaknya daerah aliran sungai, pendangkalan kanal, atau konversi lahan hijau, kini sering dijawab dengan penyemaian awan. Kekeringan yang disebabkan oleh sistem irigasi yang mangkrak dan degradasi tanah dijawab dengan hujan buatan. Dalam lanskap seperti ini, TMC tidak lagi sekadar teknologi, melainkan paradigma: kita memilih menyentuh langit, bukan memperbaiki bumi. Solusi teknis diutamakan, sementara akar ekologis dan sosial dari bencana diabaikan.

Sementara itu, anggaran untuk TMC terus meningkat. Pada 2024, BMKG menerima tambahan anggaran sebesar Rp25 miliar, sebagian besar dialokasikan untuk operasi dan tata kelola modifikasi cuaca (Antaranews, 2024). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengalokasikan Rp4,2 miliar dalam satu musim hujan (TVOneNews, 2024), dan operasi di Ibu Kota Nusantara menghabiskan Rp9 miliar hanya dalam dua minggu (Kompas IKN, 2024). Meski nilainya terus tumbuh, belum tersedia sistem evaluasi publik dan independen yang mampu mengukur efektivitas TMC secara kausal. Keberhasilan lebih sering dinyatakan secara observasional "hujan turun setelah disemai" tanpa membandingkan dengan wilayah kontrol atau melakukan simulasi cuaca alternatif. Padahal, dalam ilmu atmosfer, korelasi tidak selalu berarti kausalitas.

Di sinilah kita melihat bayangan bias teknokratis, ketika segala sesuatu dinilai berhasil karena bisa dikerjakan cepat, terlihat canggih, dan dapat disiarkan dalam konferensi pers. Namun solusi seperti ini sering tak menyentuh persoalan paling mendasar. Awan ditaburi, tapi kanal tetap tersumbat. Curah hujan disebar, tapi lahan resapan terus dialihfungsikan. Kita merayakan keberhasilan menyemai langit, sembari membiarkan tanah tetap retak, struktur tetap timpang. Dalam situasi seperti ini, TMC tidak lagi hanya teknologi, ia menjadi pengalihan tanggung jawab struktural.

Tentu TMC bukan harus dihapus atau ditolak mentah-mentah. Dalam situasi darurat, teknologi ini dapat berfungsi sebagai alat bantu. Namun ia tidak bisa berdiri sendiri. Pengelolaan air, perbaikan irigasi, perlindungan hulu DAS, dan penataan ruang adalah fondasi yang tak tergantikan. Kebijakan yang berpijak pada sains semestinya juga berpijak pada kesadaran ekologis dan keadilan sosial. Kita boleh menyemai awan, tetapi jangan sampai lupa, akar masalah tetap berada di tanah. Tradisi nusantara tidak pernah mengendalikan dan menaklukkan alam, melainkan mencari harmoni bersama alam. Maka, bila kita benar-benar ingin membangun ketahanan, pertanyaannya bukan lagi sekadar: bagaimana membuat hujan turun? Tapi: bagaimana kita hidup berdampingan dengan alam, tanpa perlu menguasainya.

(Sibu Bayan)