Catatan Kampus Cikabayan
Kakinya banyak dan gerakannya lambat; jika terganggu, tubuhnya akan menggulung seperti spiral. Di kampung asal penulis, hewan ini dikenal dengan sebutan ulu-ulu atau uler ambegan. Saudara penulis yang orang Madura menyebutnya ulet sèbbu; sementara saudara dari Sunda menyebutnya ulat reumbay atau ulut réwu. Di daerah Bugis dikenal sebagai Kambe-kambe, dan di Bali disebut lelabang alas. Namun, seiring waktu, sebutan-sebutan lokal ini mulai jarang terdengar. Kini, ia lebih sering disebut dengan satu nama: kaki seribu. Di balik namanya yang beragam, hewan ini ternyata menyimpan perilaku unik yang berkaitan erat dengan perubahan musim, terutama datangnya musim kemarau.
Dengan
tubuh panjang yang seperti disusun dari serpihan-serpihan kecil waktu, kaki
seribu atau Diplopoda melata perlahan di antara lembabnya tanah dan
sunyinya serasah. Di Indonesia, spesies seperti Thyropygus allevatus
menjadi wajah yang paling sering ditemui, merayap diam di pekarangan rumah,
bersembunyi di balik bongkahan kayu lapuk, atau menggeliat pelan di bawah
rimbun dedaunan basah. Tubuhnya memanjang dalam harmoni simetris, setiap ruas
membawa sepasang kaki tambahan, menciptakan gelombang gerak yang tenang namun
pasti. Dalam tubuh seekor kaki seribu bisa tersembunyi lebih dari 100 hingga
400 kaki, tergantung usia dan spesiesnya, jumlah yang luar biasa untuk makhluk
sekecil itu. Di kepalanya terdapat antena pendek sebagai alat peraba, dan mulut
sederhana untuk mengunyah daun gugur atau bahan organik mati. Karena bernapas
melalui spirakel yang terbuka langsung ke udara, kaki seribu sangat tergantung
pada kelembaban. Inilah alasan mereka kerap ditemukan di tempat lembab
dan teduh. Ia tidak bersayap, tak berbisa, dan tak memiliki gigi tajam. Beberapa
spesies juga memiliki kelenjar pertahanan yang mengeluarkan cairan berbau
menyengat untuk mengusir predator. Ia hanya hadir dengan cara yang sederhana, membantu
mengurai yang busuk, menghidupkan kembali yang mati.
Seperti
makhluk yang setia pada ritme bumi, kaki seribu tumbuh perlahan dari kehidupan
yang tersembunyi. Ia memulai perjalanannya sebagai telur mungil yang diselipkan
betina ke dalam pelukan tanah lembab. Dari sana menetaslah nimfa kecil, rapuh,
dan berkaki sedikit. Namun waktu, seperti pada makhluk lain di dunia, menjadi
guru setianya. Setiap kali berganti kulit, tubuhnya memanjang, kakinya
bertambah, segmen-segmennya seperti mencatat musim demi musim. Tak ada ledakan
metamorfosis, tak ada kepompong yang pecah; hanya kesabaran alam yang bekerja
diam-diam. Dalam hitungan bulan hingga tahun, ia tumbuh dewasa, membawa ratusan
kaki yang membantunya berjalan perlahan namun pasti di bawah bayang-bayang
dedaunan. Sebagai pemakan sampah organik, ia menjaga napas tanah tetap hidup
dan mikroekosistem tetap seimbang. Ia hadir bukan untuk mencolok, tapi untuk
merawat dunia dari bawah, tanpa suara, tanpa pamrih. Meski sering dianggap
mengganggu ketika masuk ke rumah, sebenarnya ia tidak berbisa, tidak menggigit,
dan tidak berbahaya bagi manusia.
Tatkala
tanah mulai mengering dan embun pagi tak lagi menetes di ujung daun,
makhluk-makhluk kecil dari balik gelapnya humus pun keluar perlahan. Kaki
seribu, dengan tubuh menggulung seperti spiral waktu, dengan gerak lambat
seolah membawa pesan, tiba-tiba muncul di sudut lantai, menapak diam-diam di
antara ubin kamar mandi, atau merayap perlahan di dinding rumah yang teduh.
Banyak orang mengusirnya, jijik, takut, atau sekadar risih. Padahal, mungkin
mereka sedang memberi tanda musim sedang berubah, dan bumi sedang bersiap
memasuki kekeringan. Di banyak kampung, orang-orang tua menyebutnya pewarta
musim. Dan saat mereka muncul, para petani tahu, "kemarau telah
datang."
Kaki
seribu bukan hanya bagian dari tanah, ia adalah saksi setia pergeseran musim.
Ketika kelembaban menghilang dari tanah dan suhu perlahan meningkat, tubuh
kecilnya yang rapuh tak lagi sanggup bersembunyi. Maka ia mencari perlindungan,
kadang di tempat yang tak biasa, rumah manusia. Dalam tradisi tak tertulis, ia
telah menjadi penanda ekologis, indikator yang tidak dibaca dengan sensor
digital, tapi dengan mata dan pengalaman hidup. Dalam keheningan geraknya, kaki
seribu mengingatkan bahwa ekosistem bukan sekadar kumpulan angka dan data,
melainkan kehidupan yang saling merasakan. Dan mungkin, saat satu makhluk kecil
mulai resah, itulah saat kita juga harus mulai waspada.
Mereka
mungkin hanya makhluk kecil yang sering kita abaikan, tak bersuara, tak
bersayap, tak memesona seperti kupu-kupu. Namun justru karena kesederhanaannya,
kaki seribu mengajarkan kita cara membaca alam dengan kepekaan, bukan hanya
dengan sains. Di dunia yang semakin dipenuhi indikator digital dan sensor
satelit, kehadiran kaki seribu yang merayap perlahan bisa menjadi pengingat
bahwa alam selalu lebih dulu memberi tahu, bila kita bersedia mendengarkannya.
Mereka tak menuntut perhatian, tak menunggu tepuk tangan. Mereka hanya muncul di
waktu yang tepat, di tempat yang diam, membawa pesan sunyi bahwa tanah mulai
haus, bahwa hujan tak lagi datang, bahwa kita sedang memasuki musim yang lain.
Dan
mungkin, dalam keheningan tubuh menggulungnya, ada satu pelajaran yang selama
ini kita lupakan: bahwa hidup selaras dengan alam berarti juga memahami
isyarat-isyarat kecilnya. Kaki seribu bukan hanya penghuni senyap tanah yang
lembab, tapi juga pewarta musim bagi mereka yang masih sudi mengamati. Jika
melihatnya muncul di teras rumah saat pagi belum sepenuhnya terang, jangan
langsung mengusirnya. Duduklah sejenak. Lihat ia berjalan pelan, dan
bertanyalah dalam hati: apa yang sedang ingin ia katakan hari ini?
(SiBu Bayan)