Minggu, 27 Desember 2009

Analisis dan pemetaan wilayah banjir di Bandung dan sekitarnya (DTA Saguling bag.3)

Oleh :  Idung Risdiyanto

Kejadian banjir yang terjadi di daerah tangkapan waduk Saguling terjadi di wilayah Bandung Selatan dan Timur terutama di Kec. Baleendah, Dayeukolot, Bojongsiang dan Majalaya.  Kejadian banjir ini hampir terjadi setiap tahun terutama pada saat intensitas hujan yang menghasilkan limpasan permukaan yang tinggi.  Seperti di jelaskan pada bagian limpasan permukaan, untuk seluruh daerah tangkapan waduk Saguling menghasilkan limpasan permukaan sebesar 4001 juta m3/tahun atau sekitar 58.3% dari jumlah air hujan yang diterima dalam satu tahun. 

Selasa, 22 Desember 2009

Kondisi Erosi dan Sedimentasi DTA Waduk Saguling (DTA Saguling bag. 2)

Oleh :  Idung Risdiyanto

Metode yang digunakan untuk menduga tingkat erosi suatu kawasan adalah metode USLE yang diaplikasikan dengan teknik-teknik GIS.  Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap erosi dalam metode ini adalah intensitas hujan, jenis tanah, kemiringan lahan, panjang lereng, jenis tutupan lahan dan manajemen pengelolaan.  Berdasarkan metode tersebut pada tahun 2008 didapatkan bahwa untuk seluruh luasan wilayah DTA waduk Saguling mempunyai kelas indeks erosi sangat

Senin, 21 Desember 2009

Bacaan minggu ini

Buku ini layak dibaca untuk teman-teman yang tertarik dalam aplikasi remote sensing

John R Jensen (Author)

Kondisi Limpasan Permukaan dan Neraca Air DTA Waduk Saguling (DTA Saguling bag.1)

Oleh: Idung Risdiyanto

Perhitungan limpasan permukaan dilakukan dengan metode SCS yang telah dimodifikasi untuk perhitungan pada periode waktu bulanan. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam perhitungan limpasan permukaan adalah sifat hidrologi tanah, jenis tutupan lahan dan curah hujan. Limpasan permukaan yang dihitung adalah jumlah potensi limpasan untuk tiap wilayah atau subdas daerah tangkapan waduk Saguling yang terjadi dalam satu tahun. Besar nilai suatu limpasan permukaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fungsi kesetimbangan tata air di suatu wilayah.
Dalam satu tahun, jumlah potensi air limpasan permukaan yang diterima oleh waduk Saguling adalah 4001.2 juta m3/tahun dengan limpasan permukaan terbesar berasal dari subdas Citarum hulu sekitar 17.4%. Jika dilihat dari besar limpasan permukaan persatuan luas, maka subdas yang memberikan limpasan permukaan yang paling besar adalah DTA Waduk Saguling Selatan yaitu sebesar 19 ribu m3/ha/tahun. Tabel 1 menunjukkan jumlah limpasan permukan untuk masing-masing subdas di DTA Waduk Saguling (baca selengkapnya)

Jumat, 02 Oktober 2009

Soal Quis Pendahuluan GFM623

berikut ini soal Quis untuk Klimatologi Satelit (soal Quis)

Kamis, 01 Oktober 2009

Bonti (Kalimantan Barat)


Pak Kadus menimang kantung semar (Naphentes sp.)


















Mandi sore di sungai Pinsam (anak sungai Sekayam)











Mandi sore di sungai Bonti (anak sungai Sekayam)


Sanggau (Kal-Bar)


Membuka ladang untuk melanjutkan hidup (Sei Mawang, medio Agustus 2009)








Bersanding dengan pohon yang masih tersisa (Sei Mawang, medio Agustus 2009)










Saudara kembar-durian (Sei Mawang, medio Agustus 2009)


Senin, 22 Juni 2009

Aspek Perubahan Lahan terhadap Kondisi Tata Air DAS Cisangkuy-Sub DAS Citarum (bagian 3)

Oleh
Idung Risdiyanto, Nana Mulyana, F.S. Beny, Sudharsono

3. Neraca Air DAS Cisangkuy
Neraca air digunakan untuk mengetahui kesetimbangan kondisi sumberdaya air dalam suatu DAS, sehingga dapat diketahui masa atau periode surplus dan defisit air wilayah. Faktor-faktor yang mempengaruhi neraca air adalah kondisi tutupan/penggunaan lahan, jenis tanah dan iklim, yang masing-masing ditunjukkan dengan peubah-peubah curah hujan, limpasan permukaan dan evapotranspirasi. Oleh karena itu, setiap bentuk perubahan dari penggunaan lahan yang mempengaruhi kondisi hidrologi dan iklim mikro suatu wilayah akan merubah kondisi neraca airnya. (Baca selengkapnya)

Aspek Perubahan Lahan terhadap Kondisi Tata Air DAS Cisangkuy-Sub DAS Citarum (bagian 2)

Oleh
Idung Risdiyanto, Nana Mulyana, F.S. Beny, Sudharsono

2. Analisis limpasan permukaan dan Infiltrasi
Perubahan lahan penutupan lahan di suatu DAS menyebabkan perubahan jumlah air hujan yang menjadi limpasan permukaan dan infiltrasi. Limpasan permukaan akan meningkat jika kemampuan lahan untuk menginfiltrasikan air hujan berkurang. Lahan-lahan dengan penutupan vegetasi akan memberikan nilai infiltrasi yang lebih besar dibandingkan dengan non-vegetasi.
Untuk menghitung perubahan kemampuan lahan untuk menginfiltrasikan air hujan digunakan pendekatan SCS dengan bilangan kurva (CN) yang merupakan fungsi dari jenis tekstur tanah (SHG-Soil Hydrology Group) dan tutupan lahan diatasnnya. Pada metode ini setiap perubahan tutupan lahan akan menyebabkan perubahan nilai CN. Pada lahan-lahan bervegetasi mempunyai nilai CN yang relatif lebih rendah sesuai dengan SHG-nya. Nilai CN yang rendah adalah indikasi kemampuan lahan untuk infiltasi tinggi dan limpasan permukaan yang rendah. (Baca Selengkapnya)

Aspek Perubahan Lahan terhadap Kondisi Tata Air Sub DAS Cisangkuy-DAS Citarum (bagian 1)

Oleh
Idung Risdiyanto, Nana Mulyana, F.S. Beny, Sudharsono

1. Analisis perubahan penutupan lahan

Dinamika perubahan penggunaan lahan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kondisi hidrologis suatu DAS. Pengaruh-pengaruh tersebut antara lain adalah perubahan iklim mikro, limpasan permukaan, erosi dan sedimentasi. Perubahan penggunaan lahan dapat diketahui dengan melakukan suatu analisis terhadap jenis penutupan lahan. Jenis-jenis penutupan lahan yang merupakan representasi dari penggunaannya antara laian adalah lahan berhutan, kebun/perkebunan, semak belukar, tegalan, tanah kosong, badan air dan lahan terbangun.
Analisis perubahan penutupan lahan di wilayah DAS Cisangkuy menggunakan data citra satelit Landsat 5 TM untuk tahun 1991 dan Landsat 7 ETM untuk 2001 dan 2008. Hasil interpretasi dari ketiga data tersebut, menunjukkan bahwa terjadi perubahan jenis penutupan lahan yang dinyatakan dengan penambahan atau pengurangan luas dari masing-masing jenis. Tabel 1 menunjukan perubahan penutupan lahan di DAS Cisangkuy dan Gambar 1 menunjukkan peta jenis penutupan lahan untuk tahun 1991, 2001 dan 2008. (Baca Selengkapnya)

Senin, 08 Juni 2009

Konsep Pengembangan Sistem Monitoring dan Evaluasi DAS

oleh : Idung Risdiyanto

Metodologi yang akan digunakan dalam desain sistem pengelolaan DAS terpadu ini akan menggunakan pendekatan sistem yang mencakup empat komponen pokok, yaitu perangkat lunak (software), perangkat keras (hardware), dataware (basis data) dan brainware (sumberdaya manusia). Keempat komponen pokok tersebut akan diintegrasikan dalam suatu sistem yang real time dan dibagi menjadi lima (6) sub sistem, yaitu:
1) sub sistem pengukuran 2) sub sistem informasi geografi dan basisdata spasial 3) sub sistem komunikasi data 4) sub sistem pemodelan spasial 5) sub sistem Neraca Akuntasi Sumberdaya DAS 6) sub sistem alat bantu pengambilan keputusan (decission support system) (Baca Selengkapnya)

Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan (bag.3)

bagian 3 : Perubahan kapasitas panas permukaan akibat penggunaan lahan
Oleh : Idung Risdiyanto


Perubahan tutupan lahan di suatu perkotaan dapat mengubah sifat-sifat fisis permukaan seperti kapasitas panas, emisivitas, konduktivitas thermal dan kekasapan permukaan yang selanjutnya akan mengubah penerimaan komponen neraca energi di daerah tersebut. Dari sifat-sifat fisis tersebut, perubahan kapasitas panas suatu lahan sangat menentukan fluktuasi dan perubahan sistem iklim mikro perkotaan. Sebagai contoh yang paling nyata adalah perbedaan kapasitas panas antara badan air dan daratan yang akan menjadi sebab perbedaan pergerakan udara antara siang dan malam. Kondisi ini menyebabkan sistem pencampuran udara panas dan dingin juga berfluktuasi sesuai dengan kapasitas masing-masing jenis tutupan lahan. Kapasitas panas adalah jumlah panas yang terkandung oleh suatu benda. Setiap permukaan menerima energi radiasi matahari yang sama, tetapi kapasitas panas yang dimiliki berbeda-beda. Sehingga suhu yang dihasilkannya pun juga berbeda. Kapasitas panas suatu benda bergantung pada panas jenis dan massa jenis atau kerapatannya. Berdasarkan peubah dan parameter yang digunakan dalam perhitungan kapasitas panas suatu benda tersebut, maka pendekatan penginderaan jauh dapat digunakan. Salah satu indikator yang dapat diturunkan dari data penginderaan jauh untuk menggambarkan kapasitas panas suatu kawasan adalah indeks kehijauan. Indeks ini dapat digunakan, karena indeks ini menggabungkan nilai emisivitas gelombang panjang dan spektrum gelombang pendek dari suatu permukaan. Kedua jenis gelombang ini sangat responsif terhadap sifat permukaan, terutama yang terkait dengan tingkat kelembaban permukaan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini nilai massa jenis dari permukaan yang digunakan dalam perhitungan untuk mendapatkan nilai kapasitas panas akan diduga dari nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) yang diestimasi dari data satelit Landsat. (baca disini atau download selengkapnya)

Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan (bag.2)

bagian 2:  Penentuan Amplitudo untuk menduga suhu udara

Oleh : Idung Risdiyanto

I. Penentuan Amplitudo untuk menduga suhu udara

Selain menggunakan data Damping depth dan Diffusivitas thermal, suhu udara dekat permukaan juga dapat diduga dengan menggunkan nilai amplitudo. Nilai ini dihitung berdasarkan pengamatan terhadap suhu maksimum dan minimum dari pengamatan di lapangan. Diketahui selisih antara suhu udara maksimum dengan suhu udara rata-ratanya akan memudahkan dalam menduga suhu udara pada ketinggian dan waktu tertentu. Gambar 1a dan Gambar 1b merupakan hasil pendugaan amplitudo dari pengukuran lapangan. Pada Gambar 1a terdapat persamaan regresi antara suhu permukaan (Ts) dengan , sehingga diketahui untuk penggunaan lahan dengan dominasi air, vegetasi, dan tanah. Pada persamaan tersebut, kalau amplitudonya langsung ditetapkan konstanta maka suhu permukaan rata-rata juga harus ditetapkan sebagai konstanta. Hal ini tidak dapat dilakukan karena suhu permukaan rata-rata akan berbeda pada setiap harinya. Melihat pola grafik pada Gambar 1a memungkinkan untuk membuat hubungan linear antara suhu pemukaan dengan amplitudo. Dikarenakan data satelit Landsat diperoleh pada pukul 10, maka amplitudo dihubungkan dengan suhu permukaan pada pukul 10. (baca disini atau download selengkapnya)

Rabu, 20 Mei 2009

Metode/Pendekatan Rencana Tindak RHL untuk Pengendalian Banjir di Wilayah Jabodetabek

Oleh : Idung Risdiyanto dan Nana Mulyana

Tahap Kegiatan Kajian
Kegiatan kajian rinci terhadap Rencana Tindak RHL untuk Pengendalian Banjir di Wilayah Jabodetabek melalui tahapan kegiatan (baca selengkapnya)

Metodologi Penyusunan Neraca Air Nasional

Oleh : Idung Risdiyanto

Kegiatan penyusunan neraca air nasional mempunyai dua tujuan pokok, yaitu :
(1) Penyusunan neraca air pada DAS Nasional (lintas Propinsi) dan DAS strategis Nasional DAS Citarum dan Brantas, Serayu Bogowonto, Jratunseluna) di pulau Jawa sehingga dapat dijadikan pedoman bagi para petugas pengelola sumberdaya air baik tingkat pusat maupun daerah (propinsi, kabupaten/ kota maupun Balai PSDA) dalam memperkirakan ketersediaan dan kebutuhan air disyuatu DAS untuk berbagai keperluan.
(2) Menyusun manual untuk memperbaharui (update) data & informasi yang terkait dengan neraca air (kebutuhan air dan pasokan air). (baca selengkapnya)

Identifikasi Daerah Rawan Longsor

oleh : Idung Risdiyanto

Longsor dan erosi adalah proses berpindahnya tanah atau batuan dari satu tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah akibat dorongan air, angin, atau gaya gravitasi. Menurut Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1981) tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan ke tempat yang lebih rendah. Gerakan massa ini dapat terjadi pada lereng-lereng yang hambat geser tanah atau batuannya lebih kecil dari berat massa tanah atau batuan itu sendiri. Proses tersebut melalui empat tahapan, yaitu pelepasan, pengangkutan atau pergerakan, dan pengendapan. Perbedaan menonjol dari fenomena longsor dan erosi adalah volume tanah yang dipindahkan, waktu yang dibutuhkan, dan kerusakan yang ditimbulkan. Longsor memindahkan massa tanah dengan volume yang besar, adakalanya disertai oleh batuan dan pepohonan, dalam waktu yang relatif singkat, sedangkan erosi tanah adalah memindahkan partikel-partikel tanah dengan volume yang relatif lebih kecil pada setiap kali kejadian dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama.(baca selengkapnya)

Kekeringan

Oleh : Idung Risdiyanto

Kekeringan adalah fenomena yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan tanah untuk menyediakan air bagi mahluk hidup diatasnya. Dalam kerangka pertanian kekeringan diartikan suatu kondisi bagi tanaman yang sudah tidak mampu lagi menyerap air tanah. Sebagai suatu fenomena yang bersifat alami, maka kekeringan akan menjadi masalah bagi pertanian, jika berlangsung pada suatu periode yang menyimpang, misalnya musim kemarau yang melebihi batas normalnya. Sehingga keadaan kekeringan bagi setiap tanaman dapat dinyatakan oleh dua faktor, yaitu internal faktor yang terkait dengan fisiologis tanaman dan ekternal faktor yang terkait dengan ketersediaan air tanah (Baca selengkapnya)

Analisis Kesesuaian Lahan Pertanian dan Perkebunan

oleh : Idung Risdiyanto

1. Konsep dan Batasan Evaluasi Lahan dan Zonasi Pertanian
1.1. Pengertian Dasar (dikutip dari Evakuasi Lahan – Puslitanak)
Dalam melaksanakan evaluasi lahan perlu terlebih dahulu memahami istilah-istilah yang digunakan, baik yang menyangkut keadaan sumber daya lahan, maupun yang berkaitan dengan kebutuhan atau persyaratan tumbuh suatu tanaman. Berikut diuraikan secara ringkas mengenai: pengertian lahan, penggunaan lahan, karakteristik lahan, dan persyaratan penggunaan lahan (baca selengkapnya)

PENYUSUNAN SOFWARE APLIKASI SPASIAL UNTUK MENENTUKAN TINGKAT KEKERINGAN METEOROLOGI DI INDONESIA

Adi Witono, Lely Q.A, Hendra Sumpena* Idung Risdiyanto**
witonoadi@yahoo.com, witono@bdg.lapan.go.id


Telah dilakukan penyusunan system aplikasi spasial kekeringan meteorologi di Indonesia dengan menggunakan metode skoring yang dikembangkan Bert H. Borger tahun 2001. Software aplikasi yang berhasil disusun dengan bahasa pemrograman Visual Basic yang dilengkapi ekstension Map Object dapat digunakan sebagai alat bantu untuk menganalisa dan sekaligus memetakannya. Diperoleh peta kekeringan meteorologi di Indonesia yang menggambarkan sebaran dan tingkat kekeringan, mulai dari tingkat aman sampai rawan kering. Potensi daerah rawan kekeringan meteorologi umumnya terjadi di lintang selatan antara 6-12o dengan distribusi mulai dari propinsi Jawa Barat sampai Nusa Tenggara Timur. Bulan kering dengan nilai curah hujan dibawah 100 mm per bulan dapat terjadi antara bulan April-Oktober. Tingkat kekeringan meteorologi di lintang selatan yang dominan berdasarkan metode Bert H. Borger menunjukkan tingkat 5-6 pada interval 0-10 dan digolongkan kering. Luas daerah ini sekitar 11.297.174 Ha atau 6,01 % dari luas wilayah Indonesia. Kejadian bulan kering pada umumnya berlangsung selama 5 bulan atau lebih secara berturut-turut, berlangsung mulai bulan Mei atau Juni dan berakhir sampai bulan Oktober.

Kata kunci: kekeringan, meteorologi, software aplikasi (baca selengkapnya)

Metodologi Identifikasi Sawah dengan Data Satelit (studi kasus : D.I. Jatiluhur)

Oleh : Idung Risdiyanto

Tahapan dan metodologi disusun identifikasi sawah dengan data satelit dilakukan sejalan dengan perkembangan teknologi aplikasi penginderaan jauh serta pemodelan spasial. Untuk itu, metodologi disusun sebagai tahapan kegiatan dengan setiap tahapannya akan mempunyai keluaran yang akan digunakan oleh tahap selanjutnya. Keluaran dari setiap tahapan tersebut dapat berupa data dan informasi maupun model perhitungan atau fungsi. Dengan demikian, tahapan-tahapan kegiatan yang akan dilakukan pada kegiatan ini adalah sebagai berikut:
1. Diskripsi dan pengenalan rona lingkungan area studi
2. Identifikasi dan klasifikasi jenis penggunaan dan penutupan lahan
3. Analisis perubahan lahan
4. Perumusan dan penyusunan model analisis perubahan lahan
(Baca selengkapnya)

Weather Monitoring Model Based on Satellite Data

Idung Risdiyanto

Staff in Geophysics and Meteorology Department, Faculty of Math and Natural Science, Bogor Agriculture University

Abstrak

Weather monitoring model is closely related to the problem of objective analysis of the field of meteorology. The amount of meteorological data is quite substantial and hence the processing of these data is one of primary problems is dynamic meteorology. Therefore, a weather system model must consider atmospheric process, which can be built by mechanistic model rather than statistical approach. Integration of numerical model (as mechanistic model) and spatial model will produce spatial weather information. It should be managed in one computerized system called as an information system for weather monitoring. The approach of the research was divided into five tasks. First task was satellite data capturing and extracting, second task was development of numerical modeling based on dynamic and thermodynamic of atmospheric process, third task was integration of numerical modeling and geographic information system in the spatial model, fourth task was to develop graphical user interface and the fifth task was application of system in the real-world. This research did not conduct model validation, due to limitation of measured data such as those were by radio-sonde and time constraint. As a model, it has some weakness such as temporal resolution, spatial resolution and vertical distribution process of atmosphere. Temporal resolution of this model is one day, however, in reality, weather is temporal state of atmosphere condition that change any time. Moreover, this model only describes weather condition when data satellite on the day could be captured. Therefore, to increase the temporal resolution of this model, the input data could be added or integrated with other satellite data such as GMS satellite that has one-hour temporal resolution. Spatial resolution that was used in this model is 50x50 kilometers square for global area and 8x8 kilometers for regional area. Actually, for the spatial resolution, this model has been prepared as NOAA’s spatial resolution. However, in this research, the computer processor and memory is not adequate to run the software in NOAA’s spatial resolution. Therefore, it is highly recommended to use more powerful computer system. This model cannot simulate vertical distribution of atmosphere, so, it does not give information about relative humidity and precipitation. If air movement in vertical area could be simulated, the dew point temperature and lighting condensation level would be known therefore the relative humidity and precipitation could be predicted.

Keywords : spatial model, information system, resolution, atmosphere (Full Paper)

Penyusunan Model Spasial untuk Prediksi Lingkungan Sebaran Malaria (Anopheles sp.)

Idung Risdiyanto, S.Si., M.Sc (Dept. Geofisika dan Meteorologi FMIPA-IPB) Fiolenta Marpaung, S.Si. (Dept. Geofisika dan Meteorologi FMIPA-IPB) Ir. Agus Wibowo, M.Sc (TISDA-BPPT)

ABSTRAK

Faktor ketinggian tempat (altitude), kemiringan lereng (slope) dan penggunaan lahan (LandUsed) mempengaruhi tempat perindukan nyamuk. Sedangkan unsur cuaca mempengaruhi metabolisme, pertumbuhan, perkembangan dan populasi nyamuk Anopheles tersebut. Suhu 18°C merupakan suhu yang paling rendah dibutuhkan larva nyamuk di daerah tropis sedangkan suhu 36°C selama 2 bulan berturut-turut dapat mematikan semua larva nyamuk. Curah hujan dengan penyinaran yang relatif panjang turut mempengaruhi habitat perindukan nyamuk. Pemahaman dan analisis data lingkungan dan unsur cuaca tersebut dapat digunakan untuk mengetahui pola penyebaran vektor malaria dan menduga populasi vektor malaria. Kombinasi kedua faktor tersebut dapat digunakan dalam penyusunan rancangan model spasial untuk membantu memprediksi pola penyebaran malaria disuatu daerah. Overlay data lingkungan (altitide, slope dan LandUsed) digunakan untuk menduga zona risiko malaria. Sedangkan prediksi jumlah kasus malaria dimodelkan menggunakan robust regresi Poisson dengan input suhu rata-rata minimum mingguan, suhu rata-rata maksimum mingguan serta jumlah curah hujan rata-rata mingguan dengan PDL (Polynomial Distribution Lag) of weather di lokasi studi (Sukabumi). Arithmetic Overlay antara zona risiko dan prediksi kasus malaria menunjukkan zona risiko lonjakan kasus malaria tiap bulan di Kabupaten Sukabumi. Zona risiko tinggi terkonsentrasi di daerah pantai. Sedangkan zona tidak berisiko (non risk) terkonsentrasi di daerah pegunungan. Zona risiko malaria tersebut signifikan mempengaruhi jumlah kasus malaria di Kabupaten Sukabumi (r = 0.967). Prediksi kasus malaria tiap bulan di Kabupaten Sukabumi menggunakan robust regresi Poisson dengan PDL of weather 6 lag untuk suhu udara rata-rata dan 7 lag untuk curah hujan. Sebaran prediksi kasus malaria tersebut signifikan (r > 0.885) menunjukkan jumlah kasus tertinggi terjadi di daerah pantai dan jumlah kasus terendah terjadi di daerah pegunungan. Sebaran lonjakan kasus malaria tertinggi juga terjadi di daerah pantai dan terendah di daerah pegunungan. Sedangkan pola sebaran lonjakan mengikuti pola curah hujan bulanan di Kabupaten Sukabumi. Interaksi antara data lingkungan dan unsur cuaca terhadap siklus perindukan dan metabolisme nyamuk merupakan faktor utama dalam memprediksi jumlah kasus malaria. Peringatan dini dapat dilakukan 1-1,5 bulan sebelum terjadinya lonjakan zona kasus malaria tinggi (high risk) di Kabupaten Sukabumi. Kata kunci: jumlah kasus malaria, suhu udara, curah hujan, LandUsed, altitude, regresi Poisson, zona resikobaca selengkapnya

Senin, 18 Mei 2009

Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan (bagian 1)

bagian 1 : Pendekatan perhitungan Suhu udara, Damping depth dan Diffusivitas thermal

Oleh : Idung Risdiyanto

Pendahuluan
Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan salah satu penggunaan lahan yang dianggap sebagai penjaga kesetimbangan lingkungan di kawasan perkotaan. Salah satu kondisi lingkungan yang sangat dipengaruhi oleh RTH adalah lingkungan atmosfer yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi proses biofisika yang ada di perkotaan. Oleh karena itu, kondisi RTH secara kualitatif dan kuantitatif dapat menjadi suatu ukuran dari kondisi lingkungan perkotaan. Kondisi RTH suatu kawasan dapat dinyatakan dalam bentuk luasan, kerapatan vegetasi dan sebaran lokasinya.
Selain RTH, salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menilai lingkungan atmosfer kawasan perkotaan adalah indek kenyamanan (Thermal Humidity Index-THI). THI merupakan suatu indeks yang digunakan untuk menilai kondisi mikrometeorologi suatu lokasi yang mempengaruhi proses biometeorologi dan metabolisme makhluk hidup yang ada di lokasi tersebut. Suatu lokasi dikatakan nyaman jika keadaan biometeorologi yang ada dapat menghasilkan suatu proses metabolisme yang normal atau dengan kata lain kondisi mikrometeorologinya tidak menjadi faktor pembatas. Baca selengkapnya disini atau download selengkapanya

Skenario perubahan iklim di Kab. Sukabumi – Jawa Barat

Oleh : Idung Risdiyanto

Perubahan iklim telah menjadi isu yang dunia dan menjadi suatu kajian yang populer. Berikut ini adalah hasil skenario perubahan iklim terhadap penerimaan radiasi di permukaan dan kelembaban udara di wilayah Sukabumi. Mengapa radiasi dan kelembaban udara??? Dua unsur ini dapat menjadi pemicu beberapa jenis penyakit mahluk hidup yang ada di suatu wilayah :) Baca selengkapnya

Pendugaan unsur radiasi permukaan

Oleh : Idung Risdiyanto

Penurunan dan pendugaan unsur radiasi dapat dijelaskan dengan menggunaankan pendekatan neraca energi suatu kawasan. Secara umum konsep neraca energi yang dimaksud adalah sebagai berikut :
Rn – (G + H + λT) = 0
Dimana Rn adalah radiasi netto, G adalah pertukaran panas tanah, H adalah pertukaran panas terasa, dan λET adalah energi untuk evapotranspirasi. Lihat Tulisan lengkap