Minggu, 01 Juni 2025

Kelelawar: Penjaga Malam dan Musim

 Catatan Kampus Cikabayan


Penulis memanggilnya Kang Pupung. Seorang ornitolog sekaligus chiropterolog. Sunda asli. Sepuluh tahun yang lalu, penulis bersama Kang Pupung sedang melakukan perjalanan di pinggir hutan Desa Karangan, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Hari itu kami bertemu dengan Pak Anto’, seorang Dayak Bidayuh meskipun bernama Jawa. Ia dan keluarganya baru saja pulang dari tembawang desa, membawa hasil panen durian yang tak seberapa.

Pak Anto’ mengeluh tentang hasil panen durian yang semakin menurun dalam lima tahun terakhir. Meski bunga durian masih mekar lebat dan memberi harapan besar, buah yang dihasilkan hanya segelintir saja. Kang Pupung yang mendengarkan dengan seksama kemudian menanyakan hal yang sederhana namun penuh arti, apakah Pak Anto’ masih sering melihat kelelawar di malam hari. Dengan wajah penuh keheningan, Pak Anto’ hanya bisa menggelengkan kepala. Dahulu, saat pohon durian berbunga, hutan selalu ramai oleh kelelawar yang beterbangan, namun kini suasana malam berubah sunyi.

Di balik sunyinya malam hutan tropis, ada sosok kecil yang sibuk tanpa suara, kelelawar. Mereka bukan hanya penguasa kegelapan, tapi juga penjaga ritme alam yang tak terlihat oleh banyak orang. Dari terbang melintasi gelapnya hutan hingga membantu bunga durian mekar dan berbuah, kelelawar memainkan peran penting menjaga keseimbangan malam dan musim. Cerita mereka mengingatkan kita bahwa dalam keheningan malam, kehidupan berjalan dan masa depan sebuah ekosistem tergantung pada makhluk yang sering luput dari perhatian.

Penyerbuk Malam yang Tak Terlihat

Kelelawar buah seperti Eonycteris spelaea dan Macroglossus sobrinus adalah aktor utama dalam kisah ini. Mereka aktif di malam hari, terbang menembus gelap hutan untuk mengisap nektar dari bunga durian yang harum dan menggantung. Bunga durian dirancang secara evolusioner untuk menarik kelelawar dengan wangi khas dan nektar melimpah, sekaligus posisi bunga yang mudah diakses saat terbang.

Saat kelelawar mengisap nektar, serbuk sari menempel di tubuh dan wajah mereka. Ketika mereka terbang ke bunga lain, serbuk sari ini berpindah, memungkinkan pembuahan silang yang esensial untuk menghasilkan buah durian yang besar dan lezat. Proses ini sangat penting karena durian, khususnya di habitat alaminya, tidak dapat sepenuhnya melakukan penyerbukan sendiri atau oleh serangga biasa. Namun, kehadiran kelelawar tidak hanya berdampak pada durian. Mereka juga membantu penyerbukan berbagai tanaman hutan tropis lain, menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlangsungan hutan itu sendiri.

Gangguan Irama Alam

Perubahan pola cuaca dan musim juga menjadi faktor penting yang mengganggu hubungan simbiotik antara kelelawar dan durian. Perubahan waktu musim hujan dan kemarau menyebabkan ketidakseimbangan dalam siklus berbunga durian. Durian biasanya berbunga pada musim tertentu, mengikuti pola curah hujan dan suhu yang konsisten selama bertahun-tahun. Namun, perubahan pola cuaca membuat musim berbunga menjadi tidak teratur.

Cuaca ekstrem seperti hujan deras yang tiba-tiba atau suhu malam yang meningkat membuat kelelawar sulit menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Aktivitas mencari makan dan reproduksi mereka terganggu, sehingga jumlah kelelawar menurun drastis.

Perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan tropis seperti di Kalimantan juga berdampak signifikan pada Diurnal Temperature Range (DTR), yaitu rentang perbedaan suhu antara suhu maksimum pada siang hari dan suhu minimum pada malam hari. Konversi hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, atau pemukiman mengubah karakteristik permukaan tanah dan vegetasi yang berperan penting dalam menyerap dan melepaskan panas. Akibatnya, suhu siang hari cenderung meningkat karena hilangnya kanopi pohon yang melindungi tanah dari radiasi matahari langsung, sedangkan suhu malam hari bisa mengalami penurunan atau bahkan peningkatan tergantung kondisi kelembaban dan jenis permukaan lahan baru.

Perubahan DTR ini memiliki dampak langsung pada kelelawar yang sangat sensitif terhadap fluktuasi suhu harian. Kelelawar mengandalkan suhu yang relatif stabil untuk menjaga metabolisme dan aktivitas malam hari, seperti mencari makan dan penyerbukan bunga durian. Peningkatan suhu siang yang ekstrem atau penurunan suhu malam yang tajam dapat mengganggu pola tidur dan siklus reproduksi kelelawar. Selain itu, perubahan DTR juga memengaruhi timing berbunga tanaman, yang pada akhirnya memutus sinkronisasi alami antara durian dan penyerbuk malamnya. Perubahan mikroklimat lokal akibat deforestasi dan fragmentasi hutan menjadi salah satu faktor utama penurunan populasi kelelawar yang diamati oleh Pak Anto’ di tembawang desa.

Selain perubahan pola cuaca dan pengurangan habitat, kelelawar juga menghadapi ancaman langsung dari manusia melalui perburuan untuk konsumsi. Di beberapa daerah, kelelawar dianggap sebagai sumber protein hewani dan dimanfaatkan sebagai bahan makanan tradisional. Hal ini menyebabkan penurunan populasi kelelawar secara signifikan, terutama di wilayah yang mudah diakses dan padat penduduk.

Perburuan yang tidak terkendali ini semakin memperparah kondisi kelelawar yang sudah tertekan oleh hilangnya habitat dan perubahan pola cuaca. Dengan jumlah kelelawar yang berkurang drastis, proses penyerbukan bunga durian pun terganggu. Akibatnya, buah durian yang diharapkan petani dan masyarakat lokal tidak maksimal produksinya, bahkan cenderung menurun. Data lokal menunjukkan penurunan produksi durian sebesar 15% dalam lima tahun terakhir, yang sejalan dengan laporan menurunnya populasi kelelawar.

Konektivitas Habitat dan Perlindungan Kelelawar

Peristiwa yang terjadi di Desa Karangan bukan sekadar catatan hubungan antara kelelawar, durian, dan musim, melainkan sebuah pengingat pentingnya menjaga konektivitas habitat yang rapuh di hutan tropis kita. Kelelawar, meskipun ukurannya kecil dan sering terabaikan, memainkan peran vital sebagai penjaga malam yang menentukan kelangsungan hidup durian dan berbagai tanaman lain yang bergantung pada penyerbukan alami.

Perlindungan terhadap habitat kelelawar harus menjadi prioritas utama. Ini meliputi upaya melestarikan gua-gua tempat kelelawar beristirahat, pohon-pohon tua yang menjadi tempat berlindung dan bersarang, serta koridor hijau yang menghubungkan berbagai bagian hutan agar kelelawar dapat bermigrasi dan berkembang biak dengan aman. Tanpa adanya jalur penghubung yang memadai, populasi kelelawar akan terisolasi dan berisiko menurun drastis.

Sains modern memberikan kemampuan untuk mempelajari perilaku dan habitat kelelawar secara mendalam. Namun, pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat seperti Pak Anto’ adalah kunci utama untuk memahami perubahan yang telah terjadi di lapangan selama bertahun-tahun. Dengan menggabungkan pengetahuan ilmiah dan lokal, strategi konservasi dapat dirancang lebih adaptif terhadap perubahan cuaca dan pola musim yang semakin tidak menentu.

Jika konektivitas habitat kelelawar terus terabaikan, hutan bisa kehilangan denyut hidupnya. Durian dan tanaman lain yang bergantung pada penyerbukan alami terancam punah, bersama dengan kelelawar yang kini mulai menghilang. Namun, masih ada kesempatan untuk membalik keadaan. Dengan perhatian dan tindakan bersama, simbiosis ini bisa terus terjaga, agar hutan tetap hidup dan buah durian terus mekar untuk generasi mendatang. Pilihan ada di tangan kita.

(SiBu Bayan)