Sistem
pertanian nasional menghadapi tantangan berlapis seperti perubahan iklim,
degradasi lingkungan, lemahnya sistem data, hingga minimnya akses teknologi dan
peringatan dini yang menjangkau petani kecil. Di tengah kondisi tersebut,
muncul inisiatif komunitas berupa stasiun cuaca otomatis (AWS) berbasis
komunitas yang memungkinkan produksi data iklim secara mandiri, transparan, dan
sesuai kebutuhan lokal. Data iklim pun berubah menjadi pengetahuan bersama yang
memperkuat kapasitas adaptasi petani.
Dari semangat itu lahirlah gagasan membangun wadah bersama yang menampung, mengolah, dan membagikan data komunitas, yang diwujudkan melalui platform map.sinaubumi.org dan sinoptik.ipb.ac.id. Platform ini memanifestasikan sains partisipatif dengan mempertemukan data iklim global dan lokal, sekaligus menempatkan petani sebagai produsen maupun pengguna pengetahuan. Kebutuhan prediksi iklim, seperti awal musim tanam, panjang musim hujan, dan potensi periode kering, dapat dijawab melalui jaringan AWS komunitas, yang memberikan informasi lebih spesifik pada skala lokal dan membantu petani mengambil keputusan tepat dalam waktu tanam, pemilihan varietas, hingga strategi pengendalian hama dan penyakit dan budidaya.
Sains Partisipatif dalam Pertanian dan Iklim
Sains partisipatif
(citizen science) merupakan pendekatan ilmiah yang melibatkan masyarakat secara
langsung dalam proses produksi pengetahuan. Berbeda dengan praktik ilmiah
konvensional yang biasanya dikerjakan oleh kalangan akademisi atau institusi
formal, sains partisipatif menempatkan masyarakat, termasuk petani, sebagai
aktor aktif dalam pengumpulan data, analisis, hingga penyampaian hasil. Melalui
pendekatan ini, sains menjadi lebih inklusif, demokratis, dan relevan dengan
kebutuhan nyata di lapangan.
Dalam konteks pertanian
dan iklim, sains partisipatif memiliki peran penting untuk menjembatani
kesenjangan antara pengetahuan lokal dan data ilmiah global. Petani memiliki
pengalaman empiris yang kaya, misalnya dalam membaca tanda-tanda alam untuk
memprediksi hujan, mengidentifikasi pola serangan hama, atau memahami kondisi
mikroklimat di sawah mereka. Pengetahuan ini sering kali lebih adaptif terhadap
kondisi setempat dibandingkan model iklim skala besar yang cenderung bersifat
generalis. Namun, agar pengetahuan lokal ini dapat diintegrasikan dengan baik
ke dalam perencanaan pertanian modern, diperlukan wadah kolaboratif yang mampu
menghubungkan petani dengan data ilmiah global.
Platform map.sinaubumi.org
dan sinoptik.ipb.ac.id hadir untuk memanifestasikan pendekatan sains
partisipatif tersebut. Melalui inisiatif AWS komunitas, petani tidak hanya
menjadi penerima informasi cuaca atau prediksi iklim, tetapi juga produsen data
yang ikut memperkaya basis informasi. Data lokal hasil observasi petani dan AWS
komunitas kemudian dikombinasikan dengan data iklim global dari sumber seperti
ECMWF atau WeatherAPI. Hasilnya adalah informasi yang lebih detail, akurat,
serta kontekstual, sehingga mampu meningkatkan ketahanan pangan dan memperkuat
kapasitas adaptasi pertanian terhadap perubahan iklim.
Mekanisme Partisipasi
Partisipasi masyarakat
dalam inisiatif ini diwujudkan melalui beberapa mekanisme yang dirancang
sederhana namun berdampak nyata. Pertama, pelaporan lapangan. Petani dapat
melaporkan kondisi sawah secara langsung, misalnya adanya serangan wereng
batang cokelat, banjir akibat saluran irigasi tersumbat, atau gejala
kekeringan. Laporan tersebut otomatis terpetakan di peta digital, sehingga
kondisi lokal segera terlihat secara spasial dan dapat dibandingkan antarwilayah.
Kedua, penggunaan sensor
berbasis teknologi murah. Di beberapa wilayah, petani yang tergabung dalam
jaringan AWS Komunitas telah memasang low-cost automatic weather station (AWS).
Alat ini mampu merekam curah hujan, suhu, kelembapan, hingga kecepatan angin
secara real time. Data dari AWS kemudian dipadukan dengan dokumentasi dan data lapangan
dari petani. Kombinasi ini membuat kualitas data lapangan semakin kaya,
terukur, dan dapat diverifikasi.
Ketiga, visualisasi
interaktif. Data yang terkumpul tidak berhenti di server, tetapi dikembalikan
kepada petani dalam bentuk peta risiko hama, rekomendasi waktu tanam
berdasarkan prakiraan curah hujan, serta tren cuaca harian dalam grafik
sederhana. Dengan cara ini, tercipta feedback loop yang membuat
partisipasi petani benar-benar bermakna, mereka bukan hanya pengirim data,
tetapi juga penerima manfaat langsung yang bisa menyesuaikan strategi pertanian
sehari-hari.
Ekosistem Data Partisipatif
Keberadaan platform ini dapat memberikan dampak positif yang menjangkau berbagai lapisan, mulai
dari petani di tingkat tapak hingga pengambil kebijakan.
Bagi petani, informasi
prediksi iklim dan risiko hama yang diperoleh secara lokal dan real-time
membuat mereka tidak lagi hanya mengandalkan “feeling” atau warisan pengetahuan
turun-temurun semata. Misalnya, petani yang menerima peringatan risiko tinggi
wereng batang cokelat dalam 3–5 hari ke depan dapat segera menyesuaikan pola
tanam, mempercepat pemupukan berimbang, atau melakukan pengendalian hayati
sebelum serangan meluas. Dengan demikian, kerugian produksi bisa ditekan sejak
dini, dan efisiensi penggunaan input pertanian (pupuk, pestisida, air)
meningkat.
Bagi peneliti, data
lapangan yang terkumpul dari laporan petani dan AWS komunitas menjadi sumber validasi penting. Selama
ini, model iklim dan hama sering terbatas oleh data observasi resmi yang jarang
dan berjarak jauh. Dengan adanya data komunitas yang kaya dan terdistribusi,
peneliti dapat menguji akurasi model prediksi iklim skala lokal, mengembangkan
algoritma machine learning untuk prediksi serangan hama, hingga
mengevaluasi dampak perubahan iklim terhadap pertanian secara lebih detail.
Hasil penelitian ini pada akhirnya kembali ke petani dalam bentuk rekomendasi
yang lebih tepat sasaran.
Bagi pengambil kebijakan,
platform ini berfungsi sebagai instrumen peringatan dini berbasis masyarakat.
Informasi spasial mengenai ancaman banjir, kekeringan, atau serangan hama di
suatu wilayah membantu dinas pertanian dan badan pangan dalam menyalurkan
bantuan tepat waktu, mengatur distribusi pupuk atau benih, bahkan menyiapkan
langkah mitigasi bencana. Sebagai contoh, jika peta risiko menunjukkan
peningkatan ancaman kekeringan di beberapa kecamatan, pemerintah bisa mengatur
jadwal irigasi tambahan atau mendistribusikan pompa air ke lokasi prioritas.
Dengan demikian, perencanaan pangan dan distribusi sumber daya menjadi lebih
efektif, transparan, dan partisipatif.
Singkatnya, platform ini
menciptakan ekosistem data partisipatif yang mempertemukan kepentingan
petani, peneliti, dan pemerintah dalam satu siklus saling menguatkan: petani
sebagai produsen data dan penerima manfaat, peneliti sebagai pengolah dan
penguat basis ilmiah, serta pemerintah sebagai fasilitator kebijakan dan
distribusi sumber daya. Dengan demikian, platform ini bukan hanya alat teknis,
tetapi juga ruang kolaborasi yang memperkuat kepercayaan diri masyarakat dalam
mengelola sumber daya dan menghadapi ketidakpastian iklim. Lebih jauh dari
sekadar manfaat praktis, lahirnya platform ini juga menandai munculnya sebuah
arah baru, yaitu gerakan pengetahuan kolektif yang menempatkan masyarakat sebagai
produsen sekaligus pengguna pengetahuan.
Gerakan Pengetahuan Kolektif
Platform map.sinaubumi.org dan sinoptik.ipb.ac.id bukan hanya sebuah perangkat teknologi, melainkan bagian dari gerakan
pengetahuan kolektif. Ke depan, platform ini diharapkan berkembang
sebagai laboratorium sains partisipatif di tingkat desa dan kecamatan. Data
iklim, cuaca, dan pertanian tidak lagi eksklusif, melainkan diproduksi,
dipahami, dan dimanfaatkan bersama oleh masyarakat. Dengan cara ini, sains
bukan lagi sekadar instrumen teknokratis, melainkan bagian dari gerakan sosial
yang menumbuhkan kemandirian desa, memperkuat solidaritas antarpetani, dan menghubungkan
pengetahuan lokal dengan inovasi modern.
Gerakan ini membuka
jalan bagi demokratisasi data. Petani tidak hanya menjadi konsumen informasi,
tetapi juga produsen pengetahuan yang menentukan arah pengelolaan pangan di
tingkat lokal. Kolaborasi lintas aktor menjadikan desa sebagai laboratorium
hidup (living lab) di mana sains modern bertemu kearifan lokal,
menghasilkan inovasi yang relevan dan berakar pada kebutuhan nyata.
Lebih jauh, pengetahuan kolektif ini merupakan fondasi bagi kedaulatan pangan di era digital. Dengan membangun ekosistem data bersama, masyarakat desa memperoleh posisi tawar yang lebih kuat terhadap pasar, kebijakan, dan perubahan iklim yang kian tidak menentu. Inilah langkah menuju transformasi, dari ketergantungan pada informasi eksternal menuju kemandirian dalam mengelola sumber daya dan masa depan pangan bangsa. Ini adalah jalan menuju masyarakat yang tidak hanya menanam padi, tetapi juga menanam data, menanam pengetahuan, dan akhirnya menanam kedaulatan.
(Sibu Bayan)