Minggu, 27 April 2025

“Barongan Pring”, Barisan Turi dan Hembusan Angin

 Catatan Kampus Cikabayan


Barongan ini berbeda dengan barongsai ataupun tari barong dari bali, walaupun ketiganya adalah produk dari peradaban.  Saat penulis masih tinggal di pedesaan Malang Selatan, istilah “Barongan” merujuk pada rumpun bambu. Di tempat lain ada yang menyebutnya dengan “Greng”. Di tatar Sunda disebut dengan “Dapuran Awi” yang berarti rumpun bambu. Bagi penulis, barongan adalah sejenis hutan kecil yang menyimpan banyak rahasia. Dulu, ketika penulis masih usia kanak-kanak, barongan itu terasa angker, seakan-akan ada misteri yang tersembunyi di balik kerimbunannya. Namun kini, setelah beranjak dewasa, ia menawarkan kesejukan dan keteduhan yang menenangkan. Setiap insan yang menatapnya pasti merasakan kehadiran yang berbeda, sesuai dengan perjalanan batinnya masing-masing. Di antara rerimbunan bambu, kita bisa merasakan hirupan udara yang lebih segar, seolah alam berbisik perlahan, menenangkan jiwa.

Di Antara Hutan Rawa dan Sawah: Perlindungan Ekosistem vs Hak Dasar Pangan?

 Catatan Kampus Cikabayan

Di tengah narasi global tentang perlindungan ekosistem lahan basah, kita sering kali dihadapkan pada pertanyaan mendalam tentang keseimbangan antara konservasi alam dan ketahanan pangan manusia. Lahan basah, termasuk hutan rawa, dianggap sebagai wilayah dengan nilai ekologis yang tak tergantikan. Namun, di balik seruan perlindungan yang bergema di forum-forum internasional, ada satu realitas yang kerap terabaikan: ketahanan pangan kita yang semakin terancam akibat pembatasan yang diletakkan pada pemanfaatan lahan tersebut. Apakah perlindungan lahan basah dengan segala klaim ekologisnya akhirnya justru mengabaikan hak dasar manusia untuk hidup dan bertahan dengan bermartabat?

Di pesisir Sungai Pidada, Provinsi Lampung, kisah Kartijo, seorang lelaki tua berusia 85 tahun asal Banyuwangi, mengungkapkan ketegangan yang nyata antara narasi perlindungan dan kebutuhan dasar manusia. Pada tahun 1964, Kartijo muda yang miskin, merantau ke Gunung Balak, Provinsi Lampung dengan harapan dapat memperbaiki hidupnya. Problem land tenure, menjadi sebab beliau mengikuti program transmigrasi lokal pada tahun 1990-an, ke Desa Aji Mesir, Kec. Gedung Aji, Kab. Tulang Bawang, Lampung. Pada tahun 1995, dengan alat-alat sederhana seperti parang, kampak, dan linggis ia mulai membuka hutan rawa yang masam yang dipenuhi pohon gelam (Melaleuca leucadendron) untuk dijadikan sawah seluas dua hektar. Tanpa bantuan alat berat, tanpa dukungan teknis besar, hanya dengan ketekunan, ia berhasil mengubah tanah asam tersebut menjadi lahan subur bagi tanaman padi selama empat tahun awal.

Senin, 21 April 2025

Hikayat Burung Prenjak: Sora manuk nu cuit-cuit, nandakeun datangna usum halodo

 Catatan Kampus Cikabayan

Orang-orang Nusantara kuno percaya bahwa ketika burung prenjak mulai berkicau keras di pagi hari, itu adalah pertanda bahwa musim kemarau akan datang. Dalam bahasa Sunda, mereka menyebutnya, "Sora manuk nu cuit-cuit, nandakeun datangna usum halodo," ("Suara burung yang cuit-cuit, menandakan datangnya musim kemarau-Sunda)." Konon, setiap kicauan prenjak bukan sekadar suara, tetapi sebuah pesan dari alam yang ingin mengingatkan manusia untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan musim. Dalam cerita rakyat, prenjak disebut sebagai penjaga musim, yang nyanyiannya adalah ritme yang mengiringi setiap perubahan tanah, langit, dan kehidupan yang mengikutinya. Namun, di tengah zaman yang berubah, suara prenjak yang dulu begitu akrab kini kian menghilang, seolah-olah lagu alam itu pun ikut terkubur dalam hening.

Minggu, 20 April 2025

Isyarat Sunyi Semut Rangrang

 Catatan Kampus Cikabayan

Di kaki gunung Kawi, sebuah desa yang terletak di selatan Malang, kehidupan para petani telah lama bergantung pada tanda-tanda yang diberikan oleh alam. Mereka bukan hanya mengamati langit, tetapi juga dahan-dahan pohon mangga dan jambu yang dihuni oleh koloni semut rangrang (Oecophylla smaragdina). Dengan tatapan tajam, mereka mengamati gerak-gerik semut yang sibuk membangun sarang, terutama saat mereka mulai mendaki dahan-dahan pohon yang lebih tinggi. “Semut rangrang wis podho munggah nang pang-pang dhuwur wit, tandhane banyu bakal entek” (Semut rangrang sudah pindah ke dahan-dahan bagian atas pohon, pertanda air akan habis-Bahasa Jawa). 
Di Indonesia Timur, Appalalo'na semut rangrang ri ujung dahan kaluku, mappatandai narekko mappatettongeng musim allase' riwettu 1–2 bulan matemmang." (Sarang semut rangrang di ujung dahan kelapa menandakan kemarau akan datang dalam 1–2 bulan – Bahasa Bugis).

Sabtu, 19 April 2025

Kapuk Randu: Pengkabar Musim yang Akan Mengering

 Catatan Kampus Cikabayan

Pada akhir April tahun 2024, dalam perjalanan dari Bogor menuju Kampung Darim di Indramayu, saya menyaksikan pemandangan yang seolah membisikkan rahasia alam. Di sepanjang jalan, kanan-kiri terbentang barisan pohon kapuk randu, dengan daun-daunnya yang gugur satu per satu, membentuk karpet alami di tanah. Beberapa pohon tampak gundul, tak berdaun, namun berbunga lebat seakan memproklamirkan datangnya musim kemarau. Fenomena ini, yang terjadi hampir tanpa suara, seperti pesan dari alam bahwa pergantian musim sudah tiba, bahwa hujan telah pergi, dan kekeringan mulai merangsek. Ini bukan sekadar tanda biasa, melainkan pertanda yang tercipta dalam gerak hidup pohon, di mana siklus alami pohon kapuk randu mengungkapkan kisah perubahan musim yang tak bisa ditunda lagi.