Catatan Kampus Cikabayan
Di Indonesia yang kaya akan budaya dan bahasa daerah, laba-laba dikenal dengan nama yang beragam, menunjukkan betapa dekatnya makhluk ini dengan kehidupan sehari-hari masyarakat di berbagai wilayah. Di kampung penulis di Malang Selatan, dia disebut sebagai “Kolomonggo”. Di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur di sebut sebagai “Linting”, sementara Jawa Barat disebut “Labang-labang”. Di Sumatera Barat, masyarakat Minangkabau menyebut kata “Labah-labah”, sedangkan di masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan dikenal sebagai “cakke”. Nama-nama ini bukan hanya sekadar sebutan, tapi bagian dari kisah dan kepercayaan lokal yang melekat pada makhluk kecil ini, termasuk bagaimana mereka digunakan sebagai pertanda alam.
Bagi banyak masyarakat pedesaan,
terutama para petani, laba-laba adalah sahabat. Selain sebagai musuh alami
organisme perusak tanaman, laba-laba juga dipercaya sebagai petunjuk alami cuaca
harian. Bila laba-laba membangun jaring rendah, atau bahkan tidak membuat
jaring sama sekali, maka hujan besar akan segera datang. Sebaliknya, jika
jaring dibangun tinggi di antara ranting atau atap bangunan, hari-hari
berikutnya cenderung cerah. Kepercayaan ini bukan sekadar mitos. Penelitian
ilmiah ternyata mendukung sebagian dari pengamatan tradisional tersebut.
Ketika Musim Berganti, Jaring pun Berubah
Laba-laba bukan hanya pemburu
yang cekatan, tapi juga arsitek ulung yang tahu kapan dan di mana harus
membangun rumah. Di musim kemarau, saat langit bersih dan angin bersahabat,
mereka cenderung membangun jaring besar dan terbuka, bahkan sering kali membentang
secara horizontal di antara dua batang pohon atau pagar. Jaring ini efektif
untuk menangkap mangsa terbang rendah, dan karena cuaca stabil, risiko
kerusakan jaring sangat kecil.
Namun ketika musim hujan tiba,
semuanya berubah. Jaring menjadi lebih kecil, lebih rapat, dan sering kali
tersembunyi di bawah daun, di sela dinding, atau bagian rumah yang terlindung.
Menariknya, arah jaring pun berubah. Jika di musim kemarau jaring lebih sering
horizontal dan terbuka, maka di musim hujan jaring cenderung vertikal dan
terlindung. Ini bukan kebetulan, melainkan strategi. Bentuk vertikal membantu
air hujan cepat mengalir turun dan tidak merusak struktur jaring. Lokasi yang
terlindung juga menghindari angin kencang dan curah hujan langsung.
Sebuah studi dari Tso, Lin, dan
Yang (2004) membuktikan hal ini secara ilmiah. Dalam penelitiannya, laba-laba Nephila
pilipes terbukti mengubah ukuran, orientasi, dan lokasi jaring sebagai
respons terhadap variasi curah hujan dan angin. Ketika cuaca memburuk, jaring
dibuat lebih kecil, lebih kokoh, dan dibangun di lokasi yang lebih
terlindungi, seolah-olah mereka tahu bahwa hujan dan badai akan datang.
Membaca cuaca harian lewat jaring laba-laba
Jaring laba-laba tak hanya
mencerminkan musim, tapi juga bisa memberi isyarat cuaca harian. Peluang
kejadian akan hujan semakin besar dapat diamati jika laba-laba malas membuat
jaring. Seandainya laba-laba sedang lapar dan harus membuat jaring, dia akan membuat
jaring yang lebih kecil dengan kualitas benang jaring lebih tebal, padat dan
kokoh. Umumnya akan dibuat dibawa naungan daun atau tempat-tempat yang terlindung.
Sebelum hujan, udara cenderung lembap dan tekanan turun, kondisi yang membuat
benang jaring lebih mudah rusak. Maka, alih-alih membuang energi, laba-laba
memilih menunggu atau membangun sarang lebih tersembunyi. Sebaliknya kemungkinan
cuaca akan cerah dapat ditunjukkan dengan membuat jaring di tempat terbuka, ukuran
yang lebih besar dengan kualitas benang yang lebih tipis.
Selain lokasi dan ukuran, orientasi
atau bentuk jaring juga berubah seiring perubahan cuaca. Saat musim hujan atau
cuaca basah, jaring laba-laba cenderung berbentuk vertikal dan dibangun di
bawah naungan, seperti di balik daun, sudut rumah, atau semak rapat. Posisi
vertikal membantu air hujan mengalir turun dan tidak merusak benang jaring.
Sementara itu, saat musim kemarau atau cuaca kering, jaring sering kali tampak horizontal
dan terbuka, dibangun di antara dua pohon atau pagar yang lebar. Bentuk
horizontal ini efektif untuk menjebak mangsa yang terbang rendah, dan karena
cuaca stabil, risiko kerusakan jaring relatif kecil.
Studi oleh Tso, Lin, dan Yang
(2004) juga menemukan bahwa laba-laba secara aktif menyesuaikan arah, lokasi,
dan struktur jaringnya sesuai dengan kondisi lingkungan. Dalam kondisi hujan
atau berangin, laba-laba membangun jaring yang lebih kecil, lebih kokoh, dan di
lokasi yang lebih terlindung, sering kali berbentuk vertikal. Sebaliknya, pada
kondisi cuaca tenang, jaring dibangun lebih besar, terbuka, dan bisa berbentuk
horizontal.
Tidak hanya bentuk dan lokasi,
arah jaring laba-laba terhadap matahari juga memiliki fungsi penting. Banyak
laba-laba memilih membangun jaringnya menghadap ke arah timur. Ini karena sinar
matahari pagi dari timur dapat menghangatkan jaring dan laba-laba itu sendiri
setelah malam yang dingin, sehingga meningkatkan aktivitas mereka dan
kemungkinan menangkap mangsa yang mulai aktif di pagi hari. Sebaliknya, jaring
yang menghadap Barat cenderung dihindari karena terpapar panas terik sore yang
bisa merusak benang jaring dan melelahkan laba-laba. Selain itu, orientasi
jaring juga menyesuaikan dengan arah angin dan kondisi habitat agar jaring
tidak mudah rusak.
Perbedaan kondisi lingkungan dan
spesies laba-laba juga memengaruhi arah jaring ini. Di daerah tropis yang
lembap, orientasi menghadap matahari membantu pengeringan jaring setelah hujan.
Sedangkan di daerah dengan suhu tinggi dan sinar kuat, laba-laba cenderung
memilih arah yang lebih teduh.
Paradoks nasib laba-laba
Apa yang diamati petani selama
bertahun-tahun kini didukung bukti akademik. Ini contoh menarik bagaimana ilmu
pengetahuan modern dan kearifan lokal bisa saling melengkapi. Di saat teknologi
cuaca belum menjangkau semua daerah, tanda-tanda dari alam seperti sarang
laba-laba tetap menjadi panduan penting.
Kita sering kali terlalu
mengandalkan gawai dan radar untuk membaca langit, padahal di sekitar kita,
makhluk kecil seperti laba-laba sudah memberi petunjuk. Tentu, sarang laba-laba
tak bisa menggantikan prakiraan cuaca dari satelit. Tapi sebagai penanda alami
yang murah, mudah diamati, dan selalu hadir, jaring-jaring tipis itu masih
punya tempat penting dalam kehidupan kita, terutama bagi mereka yang hidup
seiring dengan alam.
Namun di balik peranannya yang
bijak sebagai penanda musim dan penjaga ekosistem, laba-laba justru menghadapi
ancaman dari manusia yang tak menyadari nilainya. Penggunaan insektisida secara
berlebihan di lahan pertanian dan pekarangan tak hanya membunuh hama, tetapi
juga meracuni laba-laba yang justru membantu mengendalikan populasi serangga
secara alami. Ini menjadi paradoks yang menyedihkan. Makhluk kecil yang
diam-diam memberi tanda-tanda cuaca dan menjaga keseimbangan alam justru
terpinggirkan oleh teknologi yang mengabaikan kearifan ekologis. Jika tak ada
upaya untuk lebih bijak, bisa jadi suatu hari nanti, radar cuaca alami ini
benar-benar lenyap dari halaman rumah kita.
(SiBu Bayan)