Minggu, 04 Mei 2025

Sapaan dari Kesetian pada Tanah

Catatan Kampus Cikabayan

Untuk Pak Wardiyono, Petani Sejati dari Klaten

Di tengah bentangan lumpur yang hening, bapak petani berdiri tegak, tangannya terangkat, menyapa langit, menyapa kita. Ia bukan hanya lelaki dengan cangkul di tangan dan caping di kepala, ia adalah penjaga harapan, pelukis kehidupan di atas tanah yang basah dan sunyi.

Kakinya tenggelam dalam lumpur, namun jiwanya menjulang tinggi. Setiap langkahnya adalah doa, setiap tetes peluhnya adalah janji: bahwa kehidupan tak akan dibiarkan lapar. Di balik senyap sawah yang baru diairi, terdengar gema kesabaran yang abadi, yang tak tergoyahkan oleh waktu maupun cuaca.

Langit mendung membungkus petang, namun bukan kemurungan yang terasa, melainkan keteduhan. Sapaan tangan itu bukan sekadar gerak, melainkan bisikan jiwa: “Aku masih di sini, menanam untuk kalian, meski jarang dilihat, apalagi disanjung.” Di zaman yang serba cepat dan digital, potret ini adalah jeda yang menenangkan, sebuah pengingat bahwa hidup tumbuh dari tanah, dari tangan-tangan yang rela kotor demi memberi makan dunia.

Petani ini bukan tokoh besar dalam buku sejarah, tapi ia adalah pahlawan dalam cerita yang paling nyata: menjaga kehidupan dari balik batas lumpur dan langit. Dan dari sawah yang sunyi ini, sebuah sapaan kecil mengalir seperti puisi: lembut, jujur, dan penuh makna.

(SiBu Bayan)