Kamis, 15 Mei 2025

Bekicot: Jejak Sunyi Pola Musim dan Perubahan Iklim Mikro

 Catatan Kampus Cikabayan


Sate 02, begitu sebutan kuliner bekicot di sebagian wilayah Jawa Timur bagian selatan seperti Malang, Blitar, dan Kediri. Dahulu, ini adalah makanan rakyat jelata di masa-masa sulit, namun saat ini telah menjadi hidangan istimewa, terutama bagi penggemar kuliner ekstrem. Penulis, saat tinggal di Malang Selatan, mengenal bekicot bukan hanya sebagai sumber protein saat keterbatasan ekonomi, tetapi juga sebagai saksi bisu perjalanan musim dan tanda perubahan alam yang halus. Meskipun bekicot menarik untuk dibahas dari sisi kuliner, tulisan ini tidak membahasnya. Tulisan ini membahas peran ekologis bekicot dalam ekosistem, serta bagaimana pengetahuan lokal memanfaatkannya sebagai penanda alami peralihan musim. Ia adalah penjaga alam yang berbicara lewat sunyi, penanda alami yang mengukir jejak perubahan iklim mikro dan siklus musim dalam ekosistem tropis.

Bekicot dikenal dengan berbagai nama dalam bahasa daerah di Indonesia, yang menunjukkan luasnya penyebaran dan interaksinya dengan masyarakat. Di Jawa Barat mereka juga dikenal sebagai “keong racun”. Di Bali, bekicot disebut “tutup”. Di Sulawesi Selatan, dikenal dengan nama “siput darat” atau “koko”. Perbedaan sebutan ini mencerminkan kedekatan masyarakat dengan binatang ini sebagai bagian dari lingkungan dan budaya setempat.

Perubahan dari musim hujan yang basah dan lembap ke musim kemarau yang kering dan panas bukan hanya sekadar fenomena cuaca, melainkan nadi kehidupan yang mengatur ritme alam dan makhluk di dalamnya. Musim hujan ditandai dengan curah hujan yang tinggi, kelembaban udara yang meningkat, dan suhu yang relatif stabil, menciptakan kondisi ideal bagi pertumbuhan tanaman dan aktivitas berbagai organisme. Sebaliknya, musim kemarau ditandai dengan penurunan curah hujan, udara yang lebih kering, dan suhu yang cenderung lebih tinggi pada siang hari. Transisi antara dua musim ini memengaruhi seluruh aspek kehidupan, baik bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya. Musim hujan membawa janji kehidupan, menyuburkan tanah, dan menyemai harapan. Musim kemarau menantang, menguji daya tahan semua yang hidup, memanggil makhluk untuk berdiam dan menunggu.

Bekicot (Lissachatina fulica) merupakan moluska darat yang sangat sensitif terhadap perubahan ini. Pada musim hujan, bekicot menjadi sangat aktif, keluar dari persembunyian untuk mencari makan dan berkembang biak. Kondisi tanah yang lembap dan suhu yang nyaman mendukung aktivitas mereka. Namun, saat musim kemarau datang, bekicot memasuki fase dormansi yang disebut estivasi, di mana mereka bersembunyi dan mengurangi aktivitas untuk bertahan dari kondisi kering dan panas. Perubahan aktivitas ini berlangsung cukup konsisten dan dapat diamati sebagai indikator alami pergeseran musim dari hujan ke kemarau, atau sebaliknya.

Keunikan perilaku musiman bekicot ini membuatnya berfungsi sebagai penanda biologis alami perubahan musim. Munculnya bekicot secara massal setelah hujan pertama seringkali menjadi sinyal bagi masyarakat lokal bahwa musim hujan telah tiba. Sebaliknya, ketika bekicot mulai menghilang ke dalam persembunyian, itu menjadi pertanda bahwa musim kemarau segera datang. Selain menandai musim, perilaku bekicot ini juga dapat mengindikasikan perubahan iklim mikro di wilayah tersebut, misalnya jika pola curah hujan bergeser atau suhu meningkat.

Bekicot memegang peran ekologis yang penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem, terutama dalam proses penguraian bahan organik. Dengan memakan daun-daun yang gugur, sisa tanaman, dan bahan organik lainnya, bekicot membantu mempercepat siklus nutrisi di dalam tanah, yang pada gilirannya meningkatkan kesuburan tanah. Dalam konteks pertanian, keberadaan bekicot bisa menjadi indikator kesehatan lahan. Namun, bekicot juga dikenal sebagai hama bagi beberapa jenis tanaman karena aktivitas makannya yang kadang merusak bibit atau tanaman muda. Oleh karena itu, pengelolaan populasi bekicot yang tepat diperlukan agar manfaat ekologisnya dapat dirasakan tanpa menimbulkan kerugian bagi petani.

Perilaku musiman bekicot ini menyimpan makna ekologis dan kultural. Ia bukan hanya pengurai bahan organik yang membantu memperkaya tanah, tetapi juga indikator hidup yang mengabarkan perubahan pola iklim mikro.  Pengamatan terhadap perilaku bekicot sebagai indikator biologis ini sangat bermanfaat bagi masyarakat lokal dan peneliti, karena memberikan informasi ekologis yang mudah diakses dan alami, meski tidak sepresisi instrumen meteorologi modern. Dalam banyak komunitas pertanian tradisional di Indonesia, termasuk di Jawa Timur, fenomena ini sudah menjadi pengetahuan lokal yang diwariskan secara turun-temurun untuk membantu menentukan waktu tanam dan kegiatan bertani lainnya.

Dalam era perubahan iklim, kehadiran bekicot sebagai penanda alami memberi kita pelajaran tentang bagaimana alam berkomunikasi secara halus. Mereka mengingatkan kita bahwa perubahan besar sering kali dimulai dari sinyal-sinyal kecil yang nyaris tak terlihat, namun sarat makna. Bekicot, dengan sunyinya yang penuh arti, mengajarkan kita untuk mendengarkan alam lebih dalam. Ia adalah penjaga musim, penanda iklim, dan bagian tak terpisahkan dari simfoni kehidupan yang terus berulang.

(SiBu Bayan)