Catatan Kampus Cikabayan
Di Tengah Pusaran Regulasi
dan Realitas
Sejak diundangkannya UU No.
41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B),
alih fungsi lahan sawah di Pulau Jawa terus berlangsung dengan laju yang
mengkhawatirkan. Studi analisis spasial menggunakan citra resolusi tinggi
menunjukkan bahwa laju konversi lahan sawah nasional mencapai sekitar 96.512
hektar per tahun pada periode 2000–2015. Jika tren ini berlanjut tanpa
intervensi yang signifikan, luas lahan sawah nasional diprediksi akan menyusut
dari 8,1 juta hektar pada tahun 2013 menjadi hanya sekitar 5,1 juta hektar pada
tahun 2045, dengan sebagian besar konversi terjadi di Pulau Jawa.
Pembangunan infrastruktur,
terutama jalan tol, menjadi salah satu penyumbang utama alih fungsi lahan
sawah. Studi tahun 2024 mengungkapkan bahwa sepanjang 2013–2022, pembangunan
jalan tol di Jawa telah menyebabkan hilangnya sekitar 19.510 hektar sawah di
lima daerah yang dilalui ruas tol Ngawi-Solo dan Ngawi-Kertosono. Dengan
ekspansi pembangunan jalan tol di seluruh Jawa sepanjang 2015–2023 mencapai
1.005 km, diperkirakan konversi lahan sawah di Jawa dapat mencapai 160.000
hektar, setara dengan luas gabungan seluruh lahan sawah di Kabupaten Klaten,
Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, dan Sragen. Selain infrastruktur, urbanisasi
dan pertumbuhan kawasan industri juga berkontribusi signifikan terhadap
konversi lahan sawah. Di Provinsi Jawa Barat, misalnya, laju konversi lahan
sawah mencapai 3.662 hektar per tahun antara 2000–2013, menjadikannya salah
satu provinsi dengan laju konversi tertinggi di Indonesia. Fenomena ini
menunjukkan bahwa meskipun telah ada regulasi yang mengatur perlindungan lahan
pertanian, implementasinya masih lemah. Tanpa langkah konkret dan konsisten
dari pemerintah pusat dan daerah, serta partisipasi aktif masyarakat,
kedaulatan pangan Indonesia akan semakin terancam oleh laju konversi lahan
sawah yang tak terkendali
Perlindungan lahan pertanian
pangan berkelanjutan (LP2B) bukan sekadar urusan agraria; ia adalah soal
kedaulatan pangan, keadilan ruang, dan masa depan bangsa. Undang-Undang No. 41
Tahun 2009 telah memberi mandat tegas: lahan sawah harus dilindungi agar tidak
tergerus pembangunan yang rakus lahan. Namun, seperti banyak kisah
perundang-undangan kita, semangat luhur itu sering patah di tengah jalan ketika
berhadapan dengan tafsir sektoral, konflik antar-regulasi, dan dinamika politik
lokal. Salah satu simpul kebingungan muncul dari nomenklatur: antara LP2B yang
tertulis dalam UU, dan LSD (Lahan Sawah yang Dilindungi) yang belakangan
digunakan oleh Kementerian ATR/BPN. Ketika dua istilah ini hidup berdampingan
tanpa penyatuan konsepsi, bukan hanya masyarakat yang bingung, tetapi juga
pemerintah daerah yang diharapkan menjadi pelaksana. Jika objek yang hendak
dilindungi saja kabur batasnya, bagaimana mungkin perlindungannya bisa efektif?
Di Pulau Jawa, daerah-daerah lumbung pangan seperti Karawang, Indramayu, dan
Subang menghadapi tekanan yang semakin kuat. Lahan pertanian yang seharusnya
dilindungi justru rawan dikonversi atas nama pembangunan perumahan, industri,
bahkan proyek strategis nasional. Bahkan ketika LP2B sudah ditetapkan dalam
Perda dan peta, kenyataannya garis-garis di atas kertas itu tidak cukup kuat
menahan ekskavator dan surat izin mendirikan bangunan.
Regulasi dalam Cengkeraman
Ketidakkonsistenan
Problem pertama adalah
inkonsistensi regulasi antar lembaga. UU No. 41/2009 jelas menempatkan
kewenangan penetapan LP2B di tangan pemerintah daerah, melalui RTRW. Namun, BPN
kemudian memperkenalkan LSD, yang sumber datanya belum tentu sejalan dengan
LP2B di daerah. Di sisi lain, pemerintah pusat kini tengah menyusun RPP RTRW
Nasional 2025–2045 yang membuka ruang konversi lahan sawah di Jawa, asal ada
penggantinya di luar Jawa. Sebuah kebijakan yang terdengar akomodatif, namun
dalam praktiknya menyiratkan legalisasi perlahan terhadap konversi LP2B. Kedua,
konsistensi perencanaan tata ruang di daerah sering rapuh. Banyak pemerintah
daerah yang belum menetapkan LP2B secara jelas, atau justru merevisi RTRW
setiap kali kepala daerah berganti. LP2B pun menjadi korban politik ruang,
bukan kebijakan jangka panjang untuk ketahanan pangan. Ketiga, minimnya
insentif bagi petani. Di atas kertas, mereka diharapkan menjaga sawahnya agar
tetap lestari. Namun, insentif fiskal, jaminan harga, atau akses program tidak
serta-merta hadir. Akibatnya, petani lebih tergoda menjual tanah kepada
pengembang daripada bertahan di tengah kerentanan cuaca dan fluktuasi harga
gabah. Keempat, proses partisipatif dalam penetapan LP2B sering bersifat
normatif saja. Alih-alih mendengar suara petani, sering kali prosesnya top-down
dan administratif. Padahal, mereka yang menggenggam cangkul justru yang paling
tahu nilai dan nasib tanahnya.
Salah satu isu besar yang
memperburuk ketidakkonsistenan perlindungan LP2B adalah One Map Policy yang
seharusnya menjadi solusi tunggal dalam pemetaan ruang di Indonesia. Sejak
diinisiasi pada 2011, kebijakan ini bertujuan untuk menyatukan seluruh peta spasial
dari berbagai lembaga menjadi satu peta yang konsisten dan akurat. Namun,
kenyataannya, One Map Policy belum terwujud secara sempurna dan konsisten,
terutama dalam kaitannya dengan lahan pertanian dan LP2B. Peta yang ada
seringkali tumpang tindih, dengan data yang tidak sinkron antara BPN,
Kementerian Pertanian, dan pemerintah daerah. Pemetaan lahan sawah yang telah
dilindungi seringkali tidak tercatat dengan jelas dalam peta tersebut,
menyebabkan adanya celah yang dimanfaatkan untuk konversi lahan. Tanpa satu
peta yang otentik, masing-masing lembaga dan pihak berkepentingan menggunakan
peta mereka sendiri-sendiri, yang mempersulit pengawasan dan penegakan hukum
terhadap alih fungsi lahan.
Lumbung-lumbung yang
Terancam
Karawang, yang dikenal
sebagai “lumbung padi nasional”, juga dikenal sebagai kawasan industri terbesar
di Asia Tenggara. Paradoks ini menggambarkan ketegangan antara kebutuhan pangan
dan laju pembangunan. Meski sebagian besar lahan sawah telah dimasukkan dalam
peta LP2B kabupaten, tekanan dari industri dan properti terus menggerus
batasnya. Pada 2022, BPS mencatat konversi sawah Karawang mencapai lebih dari
500 hektar hanya dalam satu tahun—angka yang tak sebanding dengan laju
perlindungan. Laporan lapangan dari beberapa lembaga masyarakat sipil juga
mengungkap bahwa banyak petani tak tahu bahwa sawahnya masuk dalam LP2B. Mereka
baru sadar saat izin proyek dikeluarkan—terlambat untuk menolak. Di sinilah
tumpulnya pendekatan partisipatif tampak nyata.
Subang menjadi bagian dari
megaproyek Rebana Metropolitan yang dirancang sebagai kawasan pertumbuhan
ekonomi baru di Jawa Barat. Dalam euforia pembangunan itu, lahan sawah justru
menjadi obyek yang paling rentan. Meski LP2B Subang telah ditetapkan dalam Perda
RTRW, celah interpretasi tetap dimanfaatkan oleh proyek-proyek strategis
nasional (PSN) dan investor swasta. Pemda kesulitan menolak karena tekanan
politik dan janji pertumbuhan ekonomi.
Indramayu punya luas baku
sawah yang besar, irigasi teknis yang cukup baik, dan petani yang relatif
aktif. Tapi ironisnya, hingga 2023 masih ada perdebatan internal dalam Pemda
soal validasi LP2B. Perubahan RTRW tidak selalu disinkronkan dengan data peta
sawah dari BPN, dan proses verifikasi sering tertahan karena tarik-menarik
kepentingan antar dinas. Petani di Indramayu banyak yang apatis; mereka
menganggap perlindungan LP2B hanya ilusi, sebab alih fungsi tetap terjadi, dengan
atau tanpa payung hukum.
Ini baru kasus-kasus di
lumbung padi nasional Jawa Barat, bagaimana di provinsi-provinsi lain. Situasinya
tidak jauh berbeda. Kabar realita tentang konversi lahan sawah di area lumbung
padi bukanlah cerita kemarin sore. Ini cerita lama, dan menjadi cerita yang
seolah selalu “baru” karena sering menjadi keluh kesah musiman tanpa solusi.
Menyemai Harapan di Atas
Kepastian
Perlindungan LP2B hari ini
berjalan dalam pusaran ketidakkonsistenan: antara regulasi yang berubah, data
yang berbeda versi, serta praktik yang sering kali tak sesuai dengan norma
hukum. Di tengah himpitan itu, yang paling dirugikan adalah petani dan generasi
mendatang yang kehilangan tanah produktif sebagai warisan. Untuk itu,
diperlukan langkah serius dan menyeluruh: pertama, penyatuan definisi dan peta
LP2B secara nasional, dengan satu data yang sahih dan terbuka, melibatkan Kemenhut,
ATR/BPN, Kemendagri, Kementan, KLH, Bappenas dan Pemda; kedua, konsistensi dan
ketegasan dalam penyusunan RTRW, dengan pengawasan lintas sektor dan sanksi
atas pelanggaran konversi ilegal; ketiga, insentif nyata bagi petani pemilik
lahan LP2B, termasuk subsidi pupuk khusus, asuransi harga, dan jaminan keberlanjutan
akses infrastruktur produksi; keempat, partisipasi substantif dari petani dan
masyarakat desa, bukan sekadar konsultasi administratif, melainkan penetapan
berbasis musyawarah dan pelibatan aktif; kelima, moratorium terbatas terhadap
konversi sawah di lumbung pangan nasional, hingga regulasi, data, dan tata
ruang mencapai sinkronisasi penuh antar lembaga dan tingkatan pemerintahan.
Moratorium ini penting sebagai jeda kebijakan untuk memperbaiki fondasi
perlindungan LP2B, sekaligus memberikan waktu bagi pemerintah dan masyarakat
untuk menyusun ulang tata kelola ruang secara lebih adil dan berkelanjutan; dan
keenam, perbaikan implementasi One Map Policy, dengan memperkuat
integrasi data dari berbagai lembaga terkait untuk mencapai pemetaan ruang yang
konsisten dan sahih, agar LP2B dapat terlindungi dengan lebih efektif.
Janji perlindungan LP2B tidak
boleh berhenti di dokumen hukum atau peta yang indah. Ia harus berakar di tanah
yang nyata, di sawah yang digarap petani, dan di suara yang selama ini
terpinggirkan dalam proses perencanaan. Kedaulatan pangan bukan sekadar mimpi,
tetapi hak yang harus dijaga dengan keberpihakan kebijakan, kejelasan data, dan
keberanian menolak konversi yang merusak. Sebab tanpa sawah yang lestari, tidak
akan ada panen yang abadi. Dan jika lahan-lahan produktif terus dikorbankan
atas nama pertumbuhan jangka pendek, maka masa depan pangan Indonesia akan
dibayar mahal oleh generasi yang bahkan belum dilahirkan. Kita membutuhkan lebih
dari sekadar pasal demi pasal, tetapi keberanian menegakkan prioritas: bahwa
sawah bukan halaman belakang pembangunan, melainkan fondasi keberlanjutan
negeri ini.
(Sibu Bayan)