Kamis, 01 Mei 2025

Janji Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Mimpi Kedaulatan Pangan?

 Catatan Kampus Cikabayan


Di balik jendela gerbong kereta menuju Cirebon pada medio Maret 2025, petak-petak sawah terbentang seperti permadani hijau yang menua. Tapi pemandangan itu kian hari kian terpotong aspal, tertutup beton, terganti papan proyek. Suara air yang dulu mengalir di petakan-petakan itu kini tenggelam oleh deru ekskavator. Sejak Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 diundangkan, harapan akan tegaknya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) menjulang seperti padi siap panen. Namun, kenyataan di lapangan sering kali tak seindah teks hukum. Ketika nomenklatur bertarung antara LSD (Lahan Sawah Dilindungi) dan LP2B yang tersisa hanya kebingungan administratif dan lubang-lubang di lahan sawah yang tak lagi lestari. Dalam bayang-bayang ambisi pembangunan dan jargon hilirisasi, sawah-sawah di Pulau Jawa perlahan menjadi artefak. Jika LP2B hanya menjadi angka dalam Perda yang tak ditegakkan, jika peta hanya dihias dengan garis imajiner tanpa suara petani, lalu untuk siapa sebenarnya kita membangun regulasi? Petani, atau para pemilik kepentingan?

Di Tengah Pusaran Regulasi dan Realitas

Sejak diundangkannya UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), alih fungsi lahan sawah di Pulau Jawa terus berlangsung dengan laju yang mengkhawatirkan. Studi analisis spasial menggunakan citra resolusi tinggi menunjukkan bahwa laju konversi lahan sawah nasional mencapai sekitar 96.512 hektar per tahun pada periode 2000–2015. Jika tren ini berlanjut tanpa intervensi yang signifikan, luas lahan sawah nasional diprediksi akan menyusut dari 8,1 juta hektar pada tahun 2013 menjadi hanya sekitar 5,1 juta hektar pada tahun 2045, dengan sebagian besar konversi terjadi di Pulau Jawa. ​

Pembangunan infrastruktur, terutama jalan tol, menjadi salah satu penyumbang utama alih fungsi lahan sawah. Studi tahun 2024 mengungkapkan bahwa sepanjang 2013–2022, pembangunan jalan tol di Jawa telah menyebabkan hilangnya sekitar 19.510 hektar sawah di lima daerah yang dilalui ruas tol Ngawi-Solo dan Ngawi-Kertosono. Dengan ekspansi pembangunan jalan tol di seluruh Jawa sepanjang 2015–2023 mencapai 1.005 km, diperkirakan konversi lahan sawah di Jawa dapat mencapai 160.000 hektar, setara dengan luas gabungan seluruh lahan sawah di Kabupaten Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, dan Sragen. ​Selain infrastruktur, urbanisasi dan pertumbuhan kawasan industri juga berkontribusi signifikan terhadap konversi lahan sawah. Di Provinsi Jawa Barat, misalnya, laju konversi lahan sawah mencapai 3.662 hektar per tahun antara 2000–2013, menjadikannya salah satu provinsi dengan laju konversi tertinggi di Indonesia. ​Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun telah ada regulasi yang mengatur perlindungan lahan pertanian, implementasinya masih lemah. Tanpa langkah konkret dan konsisten dari pemerintah pusat dan daerah, serta partisipasi aktif masyarakat, kedaulatan pangan Indonesia akan semakin terancam oleh laju konversi lahan sawah yang tak terkendali

Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) bukan sekadar urusan agraria; ia adalah soal kedaulatan pangan, keadilan ruang, dan masa depan bangsa. Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 telah memberi mandat tegas: lahan sawah harus dilindungi agar tidak tergerus pembangunan yang rakus lahan. Namun, seperti banyak kisah perundang-undangan kita, semangat luhur itu sering patah di tengah jalan ketika berhadapan dengan tafsir sektoral, konflik antar-regulasi, dan dinamika politik lokal. Salah satu simpul kebingungan muncul dari nomenklatur: antara LP2B yang tertulis dalam UU, dan LSD (Lahan Sawah yang Dilindungi) yang belakangan digunakan oleh Kementerian ATR/BPN. Ketika dua istilah ini hidup berdampingan tanpa penyatuan konsepsi, bukan hanya masyarakat yang bingung, tetapi juga pemerintah daerah yang diharapkan menjadi pelaksana. Jika objek yang hendak dilindungi saja kabur batasnya, bagaimana mungkin perlindungannya bisa efektif? Di Pulau Jawa, daerah-daerah lumbung pangan seperti Karawang, Indramayu, dan Subang menghadapi tekanan yang semakin kuat. Lahan pertanian yang seharusnya dilindungi justru rawan dikonversi atas nama pembangunan perumahan, industri, bahkan proyek strategis nasional. Bahkan ketika LP2B sudah ditetapkan dalam Perda dan peta, kenyataannya garis-garis di atas kertas itu tidak cukup kuat menahan ekskavator dan surat izin mendirikan bangunan.

Regulasi dalam Cengkeraman Ketidakkonsistenan

Problem pertama adalah inkonsistensi regulasi antar lembaga. UU No. 41/2009 jelas menempatkan kewenangan penetapan LP2B di tangan pemerintah daerah, melalui RTRW. Namun, BPN kemudian memperkenalkan LSD, yang sumber datanya belum tentu sejalan dengan LP2B di daerah. Di sisi lain, pemerintah pusat kini tengah menyusun RPP RTRW Nasional 2025–2045 yang membuka ruang konversi lahan sawah di Jawa, asal ada penggantinya di luar Jawa. Sebuah kebijakan yang terdengar akomodatif, namun dalam praktiknya menyiratkan legalisasi perlahan terhadap konversi LP2B. Kedua, konsistensi perencanaan tata ruang di daerah sering rapuh. Banyak pemerintah daerah yang belum menetapkan LP2B secara jelas, atau justru merevisi RTRW setiap kali kepala daerah berganti. LP2B pun menjadi korban politik ruang, bukan kebijakan jangka panjang untuk ketahanan pangan. Ketiga, minimnya insentif bagi petani. Di atas kertas, mereka diharapkan menjaga sawahnya agar tetap lestari. Namun, insentif fiskal, jaminan harga, atau akses program tidak serta-merta hadir. Akibatnya, petani lebih tergoda menjual tanah kepada pengembang daripada bertahan di tengah kerentanan cuaca dan fluktuasi harga gabah. Keempat, proses partisipatif dalam penetapan LP2B sering bersifat normatif saja. Alih-alih mendengar suara petani, sering kali prosesnya top-down dan administratif. Padahal, mereka yang menggenggam cangkul justru yang paling tahu nilai dan nasib tanahnya.

Salah satu isu besar yang memperburuk ketidakkonsistenan perlindungan LP2B adalah One Map Policy yang seharusnya menjadi solusi tunggal dalam pemetaan ruang di Indonesia. Sejak diinisiasi pada 2011, kebijakan ini bertujuan untuk menyatukan seluruh peta spasial dari berbagai lembaga menjadi satu peta yang konsisten dan akurat. Namun, kenyataannya, One Map Policy belum terwujud secara sempurna dan konsisten, terutama dalam kaitannya dengan lahan pertanian dan LP2B. Peta yang ada seringkali tumpang tindih, dengan data yang tidak sinkron antara BPN, Kementerian Pertanian, dan pemerintah daerah. Pemetaan lahan sawah yang telah dilindungi seringkali tidak tercatat dengan jelas dalam peta tersebut, menyebabkan adanya celah yang dimanfaatkan untuk konversi lahan. Tanpa satu peta yang otentik, masing-masing lembaga dan pihak berkepentingan menggunakan peta mereka sendiri-sendiri, yang mempersulit pengawasan dan penegakan hukum terhadap alih fungsi lahan.

Lumbung-lumbung yang Terancam

Karawang, yang dikenal sebagai “lumbung padi nasional”, juga dikenal sebagai kawasan industri terbesar di Asia Tenggara. Paradoks ini menggambarkan ketegangan antara kebutuhan pangan dan laju pembangunan. Meski sebagian besar lahan sawah telah dimasukkan dalam peta LP2B kabupaten, tekanan dari industri dan properti terus menggerus batasnya. Pada 2022, BPS mencatat konversi sawah Karawang mencapai lebih dari 500 hektar hanya dalam satu tahun—angka yang tak sebanding dengan laju perlindungan. Laporan lapangan dari beberapa lembaga masyarakat sipil juga mengungkap bahwa banyak petani tak tahu bahwa sawahnya masuk dalam LP2B. Mereka baru sadar saat izin proyek dikeluarkan—terlambat untuk menolak. Di sinilah tumpulnya pendekatan partisipatif tampak nyata.

Subang menjadi bagian dari megaproyek Rebana Metropolitan yang dirancang sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi baru di Jawa Barat. Dalam euforia pembangunan itu, lahan sawah justru menjadi obyek yang paling rentan. Meski LP2B Subang telah ditetapkan dalam Perda RTRW, celah interpretasi tetap dimanfaatkan oleh proyek-proyek strategis nasional (PSN) dan investor swasta. Pemda kesulitan menolak karena tekanan politik dan janji pertumbuhan ekonomi.

Indramayu punya luas baku sawah yang besar, irigasi teknis yang cukup baik, dan petani yang relatif aktif. Tapi ironisnya, hingga 2023 masih ada perdebatan internal dalam Pemda soal validasi LP2B. Perubahan RTRW tidak selalu disinkronkan dengan data peta sawah dari BPN, dan proses verifikasi sering tertahan karena tarik-menarik kepentingan antar dinas. Petani di Indramayu banyak yang apatis; mereka menganggap perlindungan LP2B hanya ilusi, sebab alih fungsi tetap terjadi, dengan atau tanpa payung hukum.

Ini baru kasus-kasus di lumbung padi nasional Jawa Barat, bagaimana di provinsi-provinsi lain. Situasinya tidak jauh berbeda. Kabar realita tentang konversi lahan sawah di area lumbung padi bukanlah cerita kemarin sore. Ini cerita lama, dan menjadi cerita yang seolah selalu “baru” karena sering menjadi keluh kesah musiman tanpa solusi.

Menyemai Harapan di Atas Kepastian

Perlindungan LP2B hari ini berjalan dalam pusaran ketidakkonsistenan: antara regulasi yang berubah, data yang berbeda versi, serta praktik yang sering kali tak sesuai dengan norma hukum. Di tengah himpitan itu, yang paling dirugikan adalah petani dan generasi mendatang yang kehilangan tanah produktif sebagai warisan. Untuk itu, diperlukan langkah serius dan menyeluruh: pertama, penyatuan definisi dan peta LP2B secara nasional, dengan satu data yang sahih dan terbuka, melibatkan Kemenhut, ATR/BPN, Kemendagri, Kementan, KLH, Bappenas dan Pemda; kedua, konsistensi dan ketegasan dalam penyusunan RTRW, dengan pengawasan lintas sektor dan sanksi atas pelanggaran konversi ilegal; ketiga, insentif nyata bagi petani pemilik lahan LP2B, termasuk subsidi pupuk khusus, asuransi harga, dan jaminan keberlanjutan akses infrastruktur produksi; keempat, partisipasi substantif dari petani dan masyarakat desa, bukan sekadar konsultasi administratif, melainkan penetapan berbasis musyawarah dan pelibatan aktif; kelima, moratorium terbatas terhadap konversi sawah di lumbung pangan nasional, hingga regulasi, data, dan tata ruang mencapai sinkronisasi penuh antar lembaga dan tingkatan pemerintahan. Moratorium ini penting sebagai jeda kebijakan untuk memperbaiki fondasi perlindungan LP2B, sekaligus memberikan waktu bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyusun ulang tata kelola ruang secara lebih adil dan berkelanjutan; dan keenam, perbaikan implementasi One Map Policy, dengan memperkuat integrasi data dari berbagai lembaga terkait untuk mencapai pemetaan ruang yang konsisten dan sahih, agar LP2B dapat terlindungi dengan lebih efektif.

Janji perlindungan LP2B tidak boleh berhenti di dokumen hukum atau peta yang indah. Ia harus berakar di tanah yang nyata, di sawah yang digarap petani, dan di suara yang selama ini terpinggirkan dalam proses perencanaan. Kedaulatan pangan bukan sekadar mimpi, tetapi hak yang harus dijaga dengan keberpihakan kebijakan, kejelasan data, dan keberanian menolak konversi yang merusak. Sebab tanpa sawah yang lestari, tidak akan ada panen yang abadi. Dan jika lahan-lahan produktif terus dikorbankan atas nama pertumbuhan jangka pendek, maka masa depan pangan Indonesia akan dibayar mahal oleh generasi yang bahkan belum dilahirkan. Kita membutuhkan lebih dari sekadar pasal demi pasal, tetapi keberanian menegakkan prioritas: bahwa sawah bukan halaman belakang pembangunan, melainkan fondasi keberlanjutan negeri ini.

(Sibu Bayan)