Kamis, 22 Mei 2025

Undur-undur: Jejak Halus Perubahan Musim

 Catatan Kampus Cikabayan

“Undur-undur jalannya mundur...” Penggalan lagu anak-anak ini masih terngiang di ingatan penulis. Lagu sederhana yang mengingatkan pada hewan kecil yang unik "undur-undur" yang sering dijumpai di tanah kering dan halus, membentuk lubang berbentuk corong yang khas. Meski kecil dan tersembunyi, Undur-undur menyimpan cerita menarik tentang lingkungan dan perubahan musim di sekitar kita. Undur-undur adalah nama umum untuk serangga kecil dari ordo Neuroptera, terutama dari famili Myrmeleontidae. Nama "undur-undur" biasanya merujuk pada larvanya, bukan bentuk dewasanya. Larva undur-undur sangat terkenal karena cara uniknya bergerak mundur saat menggali pasir atau tanah halus yang kering. Itulah asal usul nama "undur-undur".

Rabu, 21 Mei 2025

Sang Elang: “Guru Terbang” Termodinamika Atmosfer

 Catatan Kampus Cikabayan

Di langit terbuka yang cerah dan tenang di lereng gunung Pangrango, seekor elang jawa (Nisaetus bartelsi) melayang tinggi tanpa mengepakkan sayapnya. Gerakannya anggun dan efisien, seolah menari bersama arus udara tak kasat mata. Di balik keindahan ini tersimpan pelajaran penting tentang termodinamika atmosfer, khususnya perpindahan panas dari permukaan bumi ke udara yang membentuk arus konveksi termal (thermal updrafts). Fenomena ini berkaitan erat dengan konsep heat flux, salah satu prinsip dasar dalam ilmu atmosfer. Burung elang memanfaatkan proses fisika kompleks ini jauh sebelum manusia memahami secara ilmiah. Melalui perilaku terbangnya, elang menjadi cermin nyata dari interaksi antara makhluk hidup dan proses energi atmosfer.

Minggu, 18 Mei 2025

Laba-laba: Radar Cuaca Alami

Catatan Kampus Cikabayan


Di tengah gemuruh teknologi modern dan alat canggih untuk memprediksi cuaca, ada makhluk kecil yang diam-diam telah menjadi radar alami selama ribuan tahun, yaitu laba-laba. Dengan jaring-jaring halusnya yang rumit, laba-laba tak hanya berburu mangsa, tetapi juga memberi sinyal alam tentang perubahan cuaca yang akan datang. Seperti peramal kecil yang mengamati angin dan kelembapan, mereka menyesuaikan rumahnya, yang ternyata menyimpan petunjuk penting bagi kita untuk membaca tanda-tanda hujan atau kemarau.

Di Indonesia yang kaya akan budaya dan bahasa daerah, laba-laba dikenal dengan nama yang beragam, menunjukkan betapa dekatnya makhluk ini dengan kehidupan sehari-hari masyarakat di berbagai wilayah. Di kampung penulis di Malang Selatan, dia disebut sebagai “Kolomonggo”. Di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur di sebut sebagai  “Linting”, sementara Jawa Barat disebut “Labang-labang”. Di Sumatera Barat, masyarakat Minangkabau menyebut kata “Labah-labah”, sedangkan di masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan dikenal sebagai “cakke”. Nama-nama ini bukan hanya sekadar sebutan, tapi bagian dari kisah dan kepercayaan lokal yang melekat pada makhluk kecil ini, termasuk bagaimana mereka digunakan sebagai pertanda alam.

Kamis, 15 Mei 2025

Bekicot: Jejak Sunyi Pola Musim dan Perubahan Iklim Mikro

 Catatan Kampus Cikabayan


Sate 02, begitu sebutan kuliner bekicot di sebagian wilayah Jawa Timur bagian selatan seperti Malang, Blitar, dan Kediri. Dahulu, ini adalah makanan rakyat jelata di masa-masa sulit, namun saat ini telah menjadi hidangan istimewa, terutama bagi penggemar kuliner ekstrem. Penulis, saat tinggal di Malang Selatan, mengenal bekicot bukan hanya sebagai sumber protein saat keterbatasan ekonomi, tetapi juga sebagai saksi bisu perjalanan musim dan tanda perubahan alam yang halus. Meskipun bekicot menarik untuk dibahas dari sisi kuliner, tulisan ini tidak membahasnya. Tulisan ini membahas peran ekologis bekicot dalam ekosistem, serta bagaimana pengetahuan lokal memanfaatkannya sebagai penanda alami peralihan musim. Ia adalah penjaga alam yang berbicara lewat sunyi, penanda alami yang mengukir jejak perubahan iklim mikro dan siklus musim dalam ekosistem tropis.

Minggu, 04 Mei 2025

Inisiatif Komunitas Stasiun Cuaca: Kontribusi, Tantangan, dan Masa Depan untuk Pertanian

 

Di Indonesia, data dan informasi cuaca secara resmi disediakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), yang berperan sebagai sumber utama data cuaca nasional. Namun, cakupan stasiun cuaca BMKG, terutama di daerah pedesaan dan wilayah terpencil, sering kali terbatas, sehingga data yang dihasilkan kurang dapat menggambarkan kondisi mikroklimatik setempat. Padahal, sektor pertanian dan perkebunan sangat membutuhkan data spesifik untuk mendukung aktivitas mereka, terutama dalam menghadapi tantangan ketidakpastian cuaca akibat perubahan iklim. Keterbatasan akses terhadap data cuaca yang akurat dapat menghambat pengambilan keputusan yang efektif dalam pertanian, yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia.

Sapaan dari Kesetian pada Tanah

Catatan Kampus Cikabayan

Untuk Pak Wardiyono, Petani Sejati dari Klaten

Di tengah bentangan lumpur yang hening, bapak petani berdiri tegak, tangannya terangkat, menyapa langit, menyapa kita. Ia bukan hanya lelaki dengan cangkul di tangan dan caping di kepala, ia adalah penjaga harapan, pelukis kehidupan di atas tanah yang basah dan sunyi.

Kamis, 01 Mei 2025

Janji Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Mimpi Kedaulatan Pangan?

 Catatan Kampus Cikabayan


Di balik jendela gerbong kereta menuju Cirebon pada medio Maret 2025, petak-petak sawah terbentang seperti permadani hijau yang menua. Tapi pemandangan itu kian hari kian terpotong aspal, tertutup beton, terganti papan proyek. Suara air yang dulu mengalir di petakan-petakan itu kini tenggelam oleh deru ekskavator. Sejak Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 diundangkan, harapan akan tegaknya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) menjulang seperti padi siap panen. Namun, kenyataan di lapangan sering kali tak seindah teks hukum. Ketika nomenklatur bertarung antara LSD (Lahan Sawah Dilindungi) dan LP2B yang tersisa hanya kebingungan administratif dan lubang-lubang di lahan sawah yang tak lagi lestari. Dalam bayang-bayang ambisi pembangunan dan jargon hilirisasi, sawah-sawah di Pulau Jawa perlahan menjadi artefak. Jika LP2B hanya menjadi angka dalam Perda yang tak ditegakkan, jika peta hanya dihias dengan garis imajiner tanpa suara petani, lalu untuk siapa sebenarnya kita membangun regulasi? Petani, atau para pemilik kepentingan?