Minggu, 27 April 2025

Di Antara Hutan Rawa dan Sawah: Perlindungan Ekosistem vs Hak Dasar Pangan?

 Catatan Kampus Cikabayan

Di tengah narasi global tentang perlindungan ekosistem lahan basah, kita sering kali dihadapkan pada pertanyaan mendalam tentang keseimbangan antara konservasi alam dan ketahanan pangan manusia. Lahan basah, termasuk hutan rawa, dianggap sebagai wilayah dengan nilai ekologis yang tak tergantikan. Namun, di balik seruan perlindungan yang bergema di forum-forum internasional, ada satu realitas yang kerap terabaikan: ketahanan pangan kita yang semakin terancam akibat pembatasan yang diletakkan pada pemanfaatan lahan tersebut. Apakah perlindungan lahan basah dengan segala klaim ekologisnya akhirnya justru mengabaikan hak dasar manusia untuk hidup dan bertahan dengan bermartabat?

Di pesisir Sungai Pidada, Provinsi Lampung, kisah Kartijo, seorang lelaki tua berusia 85 tahun asal Banyuwangi, mengungkapkan ketegangan yang nyata antara narasi perlindungan dan kebutuhan dasar manusia. Pada tahun 1964, Kartijo muda yang miskin, merantau ke Gunung Balak, Provinsi Lampung dengan harapan dapat memperbaiki hidupnya. Problem land tenure, menjadi sebab beliau mengikuti program transmigrasi lokal pada tahun 1990-an, ke Desa Aji Mesir, Kec. Gedung Aji, Kab. Tulang Bawang, Lampung. Pada tahun 1995, dengan alat-alat sederhana seperti parang, kampak, dan linggis ia mulai membuka hutan rawa yang masam yang dipenuhi pohon gelam (Melaleuca leucadendron) untuk dijadikan sawah seluas dua hektar. Tanpa bantuan alat berat, tanpa dukungan teknis besar, hanya dengan ketekunan, ia berhasil mengubah tanah asam tersebut menjadi lahan subur bagi tanaman padi selama empat tahun awal.

Proses ini bukan tanpa tantangan. Pada masa-masa awal, Kartijo hanya mampu menanam satu kali dalam setahun. Baru setelah adanya tambahan abu dari limbah pabrik kelapa sawit terdekat, keasaman tanah dapat diperbaiki. Perbaikan sistem tata air melalui kanal dan pintu air oleh pemerintah sekitar tahun 2010, memungkinkan tanam dua kali setahun. Kini, lahan yang dulunya hutan rawa gelam itu menjadi salah satu sentra penghasil padi yang menopang kebutuhan pangan lokal. Kini lahan sawah pak Kartijo mampu menghasilkan padi dua kali setahun dengan hasil ± 4,6 ton GKG per hektar setiap panen.

Namun, narasi global yang ada seringkali mengabaikan perjuangan Kartijo dan para petani seperti dirinya. Para pengambil kebijakan yang didukung ilmuwan dan konservasionis terkait dengan hutan rawa lebih sibuk berbicara tentang perlindungan lahan basah di forum-forum internasional, tanpa benar-benar merasakan dampak nyata kebijakan mereka terhadap kehidupan masyarakat lokal. Mereka berbicara tentang cadangan karbon dan pentingnya menjaga keberagaman hayati, tetapi tidak cukup peka terhadap kenyataan bahwa masyarakat seperti Kartijo bergantung pada lahan tersebut untuk bertahan hidup. Mereka tidak merasakan ancaman langsung terhadap ketahanan pangan yang semakin mendesak akibat pembatasan penggunaan lahan rawa untuk pertanian. Ketika keputusan yang diambil di tingkat global justru memperburuk kondisi pangan lokal dan mengancam kedaulatan pangan, kita perlu bertanya: apakah ini bentuk konservasi yang adil dan berkelanjutan?

Lahan basah memang menyimpan cadangan karbon yang besar, namun itu bukanlah alasan untuk mengabaikan kebutuhan pangan yang semakin tak terelakkan. Jika kita hanya fokus pada perlindungan yang kaku tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap ketahanan pangan, kita berisiko memperburuk kondisi kemiskinan dan kelaparan di daerah-daerah yang sudah bergantung pada lahan tersebut. Di wilayah seperti Sungai Pidada, konversi rawa yang telah terdegradasi menjadi sawah produktif bukanlah penghancuran ekosistem, melainkan sebuah usaha cerdas yang menggabungkan kepentingan ekologis dengan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat.

Penelitian oleh Junk et al. (2013) mengenai konsep "wise use" lahan basah menekankan bahwa pemanfaatan berkelanjutan lahan basah adalah bagian dari prinsip konservasi yang lebih luas. Lahan rawa yang sudah terdegradasi atau marginal, seperti yang ada di Sungai Pidada, bisa diubah menjadi area yang mendukung ketahanan pangan tanpa harus mengorbankan fungsi ekologis yang esensial. Kartijo sendiri membuktikan bahwa dengan manajemen yang tepat, seperti penambahan abu dari limbah pabrik kelapa sawit untuk memperbaiki tanah dan pengelolaan air yang baik, lahan rawa bisa memberikan manfaat jangka panjang tanpa merusak ekosistem.

Perlindungan hutan rawa dan lahan basah memang penting, tetapi itu tidak bisa dicapai dengan cara mengabaikan kebutuhan mendasar manusia. Ketahanan pangan tidak bisa dipisahkan dari keadilan sosial-ekonomi. Apa gunanya menjaga alam jika manusia yang menghuninya tidak bisa bertahan hidup dengan layak? Kartijo, dengan segala ketekunannya, mengajarkan kita bahwa keberlanjutan ekologis dan ketahanan pangan bisa berjalan berdampingan, asalkan kita berani mengevaluasi kembali kebijakan perlindungan yang hanya mengutamakan kepentingan ekologis semata, tanpa memperhatikan aspek kemanusiaan.

Pada akhirnya, kita perlu merumuskan ulang pendekatan terhadap lahan basah. Bukan dengan mengesampingkan hak masyarakat atas lahan yang mereka kelola untuk bertahan hidup, melainkan dengan mempertimbangkan cara-cara inovatif yang memungkinkan keduanya, konservasi dan ketahanan pangan, berjalan beriringan. Tidak semua konversi lahan rawa berarti penghancuran alam, dan tidak semua sawah adalah ancaman terhadap ekosistem. Jika kita terus memperlakukan kebijakan ini dengan cara yang hanya berfokus pada narasi perlindungan sempit, kita mungkin hanya mengubur potensi besar yang bisa mendukung ketahanan pangan tanpa merusak planet kita.

(SiBu Bayan)