Catatan kampus Cikabayan (06|04|2025) dimuat juga di https://pili.or.id/postcolonial-climate/
Isu perubahan iklim telah menjadi arena moral dan politis yang paling dominan dalam diskursus global abad ke-21. Narasinya menjadi agenda penyelamatan bumi yang tak mengenal batas negara, ras, agama, gender dan kelas sosial. Di balik semangat universal yang adi luhung, terjalin relasi kuasa yang tidak simetris yang semakin hari semakin nampak. Narasi iklim global, dalam banyak hal, masih mencerminkan warisan kolonialisme yang belum benar-benar usai terutama di negara negara berkembang di tropis, termasuk Indonesia
Pada era kolonial, wilayah-wilayah tropis dieksploitasi sebagai lumbung bahan mentah untuk menopang revolusi industri di Eropa. Rimba dijungkirkan jadi barisan tanam seragam, dan masyarakat lokal perlahan digiring tunduk pada irama ekonomi yang mengalir deras ke negeri-negeri jauh, penguasa koloni. Kini pada abad 21 dengan wajah yang lebih modern, skema-skema mitigasi iklim global justru kembali mengarahkan wilayah tropis (baca: Indonesia) sebagai sumber solusi atas krisis yang sebagian besar bukan mereka sebabkan. Konservasi hutan tropis, proyek karbon offset, dan perdagangan emisi, seluruh menciptakan sistem arsitektur baru pengendalian, di mana negara-negara berkembang di wilayah tropis diminta menyesuaikan diri terhadap target dan logika yang mereka rancang.
Pembangunan
hijau telah menjadi jargon yang menghasilkan komodifikasi terhadap alam dan
relasi sosial masyarakat. Komodifikasi menjadi alat kontrol baru. Negara-negara
maju, lewat skema ekonomi hijau mendapatkan legitimasi untuk membeli hak tetap
mencemari dari negara berkembang yang masih punya hutan. Hutan tropis tidak
lagi dipandang sebagai ruang hidup atau tempat produksi subsisten, melainkan
sebagai jasa lingkungan yang dihitung dalam satuan ton karbon. Misalnya, skema
REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest) dan EUDR (European
Union Deforestation Regulation) telah menjadi instrumen ekonomi global. Melalui
skema REDD+, negara-negara maju dapat terus mempertahankan tingkat emisi karbon
yang tinggi dengan membeli kredit karbon dari negara-negara seperti Indonesia.
Di atas kertas, ini tampak sebagai bentuk kerja sama yang saling menguntungkan.
EUDR berpotensi menjadi tembok pembatas yang justru menghambat petani kecil
untuk mengakses pasar global, sambil tetap melanggengkan dominasi kapital atas
nilai tambah dari komoditas tropis. Apakah ini benar-benar kolaborasi, atau
hanya bentuk lain dari kontrol terselubung yang dibungkus narasi hijau? Sebab
pada akhirnya, negara-negara tropis seperti Indonesia hanya diminta menjaga
hutan untuk dunia, sementara hak atas tanah dan alamnya sendiri dikunci dengan
aturan dari mereka.
Transisi
energi yang gencar didorong ke arah kendaraan listrik dan sumber energi
terbarukan juga tidak lepas dari paradoks. Negara-negara maju mendorong target
nol emisi karbon, namun sebagian besar bahan baku penting seperti nikel,
kobalt, dan litium ditambang di negara berkembang dengan risiko ekologis dan
sosial yang tinggi. Indonesia kembali memberikan pengorbanan untuk proyek besar
dunia yang disebut transisi hijau. Pertanyaannya, siapa yang paling
diuntungkan?
Bagi
Indonesia, saat ini kita menghadapi krisis keadilan iklim yang lebih penting
diperjuangkan dibandingkan dengan narasi perubahan iklim yang berkembang saat
ini. Negara-negara maju telah menikmati ratusan tahun industrialisasi dan
akumulasi kekayaan, sementara negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kini
diminta untuk membatasi pembangunan demi menjaga stabilitas suhu bumi. Tanggung
jawab historis ini tidak diterjemahkan dalam redistribusi sumber daya atau
transfer teknologi yang setara. Mereka mengakui dosa sejarah, tapi tutup mata
terhadap pembagian sumber daya yang adil, apalagi teknologi yang benar-benar
ditransfer. Semua tinggal janji yang terdengar manis di ruang konferensi, namun
hampa di lapangan. Bahkan bantuan iklim yang dijanjikan pun sering kali
bersyarat, berbasis utang, atau berbentuk investasi yang menguntungkan
korporasi donor.
Pendekatan
postkolonial memberikan kerangka konseptual untuk menelaah narasi global secara
lebih kritis, dengan menyoroti relasi kuasa dan warisan historis kolonialisme
yang membentuk struktur wacana kontemporer. Dalam lanskap perdebatan perubahan
iklim, pendekatan ini krusial agar perumusan kebijakan tidak sekadar mengekor
narasi yang dibentuk negara-negara kuat, melainkan lahir dari kebutuhan nyata,
semangat kedaulatan, dan cita-cita masyarakat.
Indonesia
perlu lebih berani membentuk wacana sendiri dalam isu iklim. Kita bukan hanya
korban pasif yang dituntut untuk melakukan mitigasi dan adaptasi, melainkan
juga pelaku strategis yang harus memperjuangkan kedaulatan atas sumber daya
alam, kawasan hutan, dan arah pembangunan yang kita tentukan sendiri. Tanpa
itu, perubahan iklim akan terus menjadi alat kontrol baru dari sistem lama yang
hanya berganti warna.
(SiBu Bayan)