Jumat, 11 April 2025

Postcolonial Climate

 Catatan kampus Cikabayan (06|04|2025) dimuat juga di https://pili.or.id/postcolonial-climate/

Isu perubahan iklim telah menjadi arena moral dan politis yang paling dominan dalam diskursus global abad ke-21. Narasinya menjadi agenda penyelamatan bumi yang tak mengenal batas negara, ras, agama, gender dan kelas sosial. Di balik semangat universal yang adi luhung, terjalin relasi kuasa yang tidak simetris yang semakin hari semakin nampak. Narasi iklim global, dalam banyak hal, masih mencerminkan warisan kolonialisme yang belum benar-benar usai terutama di negara negara berkembang di tropis, termasuk Indonesia

Pada era kolonial, wilayah-wilayah tropis dieksploitasi sebagai lumbung bahan mentah untuk menopang revolusi industri di Eropa. Rimba dijungkirkan jadi barisan tanam seragam, dan masyarakat lokal perlahan digiring tunduk pada irama ekonomi yang mengalir deras ke negeri-negeri jauh, penguasa koloni. Kini pada abad 21 dengan wajah yang lebih modern, skema-skema mitigasi iklim global justru kembali mengarahkan wilayah tropis (baca: Indonesia) sebagai sumber solusi atas krisis yang sebagian besar bukan mereka sebabkan. Konservasi hutan tropis, proyek karbon offset, dan perdagangan emisi, seluruh menciptakan sistem arsitektur baru pengendalian, di mana negara-negara berkembang di wilayah tropis diminta menyesuaikan diri terhadap target dan logika yang mereka rancang.

Pembangunan hijau telah menjadi jargon yang menghasilkan komodifikasi terhadap alam dan relasi sosial masyarakat. Komodifikasi menjadi alat kontrol baru. Negara-negara maju, lewat skema ekonomi hijau mendapatkan legitimasi untuk membeli hak tetap mencemari dari negara berkembang yang masih punya hutan. Hutan tropis tidak lagi dipandang sebagai ruang hidup atau tempat produksi subsisten, melainkan sebagai jasa lingkungan yang dihitung dalam satuan ton karbon. Misalnya, skema REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest) dan EUDR (European Union Deforestation Regulation) telah menjadi instrumen ekonomi global. Melalui skema REDD+, negara-negara maju dapat terus mempertahankan tingkat emisi karbon yang tinggi dengan membeli kredit karbon dari negara-negara seperti Indonesia. Di atas kertas, ini tampak sebagai bentuk kerja sama yang saling menguntungkan. EUDR berpotensi menjadi tembok pembatas yang justru menghambat petani kecil untuk mengakses pasar global, sambil tetap melanggengkan dominasi kapital atas nilai tambah dari komoditas tropis. Apakah ini benar-benar kolaborasi, atau hanya bentuk lain dari kontrol terselubung yang dibungkus narasi hijau? Sebab pada akhirnya, negara-negara tropis seperti Indonesia hanya diminta menjaga hutan untuk dunia, sementara hak atas tanah dan alamnya sendiri dikunci dengan aturan dari mereka.

Transisi energi yang gencar didorong ke arah kendaraan listrik dan sumber energi terbarukan juga tidak lepas dari paradoks. Negara-negara maju mendorong target nol emisi karbon, namun sebagian besar bahan baku penting seperti nikel, kobalt, dan litium ditambang di negara berkembang dengan risiko ekologis dan sosial yang tinggi. Indonesia kembali memberikan pengorbanan untuk proyek besar dunia yang disebut transisi hijau. Pertanyaannya, siapa yang paling diuntungkan?

Bagi Indonesia, saat ini kita menghadapi krisis keadilan iklim yang lebih penting diperjuangkan dibandingkan dengan narasi perubahan iklim yang berkembang saat ini. Negara-negara maju telah menikmati ratusan tahun industrialisasi dan akumulasi kekayaan, sementara negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kini diminta untuk membatasi pembangunan demi menjaga stabilitas suhu bumi. Tanggung jawab historis ini tidak diterjemahkan dalam redistribusi sumber daya atau transfer teknologi yang setara. Mereka mengakui dosa sejarah, tapi tutup mata terhadap pembagian sumber daya yang adil, apalagi teknologi yang benar-benar ditransfer. Semua tinggal janji yang terdengar manis di ruang konferensi, namun hampa di lapangan. Bahkan bantuan iklim yang dijanjikan pun sering kali bersyarat, berbasis utang, atau berbentuk investasi yang menguntungkan korporasi donor.

Pendekatan postkolonial memberikan kerangka konseptual untuk menelaah narasi global secara lebih kritis, dengan menyoroti relasi kuasa dan warisan historis kolonialisme yang membentuk struktur wacana kontemporer. Dalam lanskap perdebatan perubahan iklim, pendekatan ini krusial agar perumusan kebijakan tidak sekadar mengekor narasi yang dibentuk negara-negara kuat, melainkan lahir dari kebutuhan nyata, semangat kedaulatan, dan cita-cita masyarakat.

Indonesia perlu lebih berani membentuk wacana sendiri dalam isu iklim. Kita bukan hanya korban pasif yang dituntut untuk melakukan mitigasi dan adaptasi, melainkan juga pelaku strategis yang harus memperjuangkan kedaulatan atas sumber daya alam, kawasan hutan, dan arah pembangunan yang kita tentukan sendiri. Tanpa itu, perubahan iklim akan terus menjadi alat kontrol baru dari sistem lama yang hanya berganti warna.

 (SiBu Bayan)