Catatan Kampus Cikabayan (13|04|2025)
Apa arti “cerdas” bila sawah kian sunyi dari suara petani yang membaca angin, dan ladang dikendalikan dari balik layar sentuh? Di tengah gegap gempita Pertanian Cerdas Iklim (Climate Smart Agriculture/CSA), kita menyaksikan lahirnya revolusi yang terasa megah di ruang seminar, namun asing di pematang. Teknologi dengan segala janji presisinya datang bak nabi baru, menjanjikan keselamatan dari krisis iklim, tapi kerap melupakan satu hal bahwa petani telah lebih dulu cerdas, jauh sebelum sensor dan algoritma turun ke sawah, ladang dan kebun. Ini adalah refleksi atas narasi dominan CSA yang terlalu menonjolkan teknologi dan mengaburkan kecerdasan yang tumbuh dari laku harian dan ketekunan mendengar alam. Penulis tidak menolak teknologi, tapi untuk refleksi bahwa kecerdasan sejati tak selalu hadir dalam bentuk kabel, sinyal dan coding, tapi juga dalam tubuh yang tahu kapan menanam dan kapan berharap.
Dunia pembangunan pertanian berkelanjutan saat ini memiliki
mantra baru, yaitu CSA. Wajah progresifnya menjanjikan solusi untuk menghadapi
perubahan iklim yang berdampak pada ketahanan pangan. Di wajah itu, tersimpan
satu pertanyaan mendasar: siapa yang sebenarnya dianggap “cerdas”? Apakah
kecerdasan itu merujuk pada teknologi mutakhir berbasis digital, sensor,
otomasi, dan Internet of Things (IoT)? Ataukah justru pada kecakapan petani
membaca cuaca dari formasi awan dan teriknya matahari, menentukan masa tanam
berdasarkan siklus angin, atau memilih varietas lokal yang tahan kondisi iklim?
Praktek CSA cenderung digerakkan oleh narasi kecerdasan dari
teknokrat dengan semangat modernisasi dan teknologi sebagai ujung tombaknya.
Peran petani direduksi menjadi sekadar pengguna akhir. Petani seolah-olah
“belum cukup pintar” sehingga perlu “di-upgrade”, pengetahuan mereka dianggap
sebagai hambatan kemajuan. Personifikasi kecerdasan sebagai alat dan sistem
canggih, dijual dalam bentuk program, dan disebarkan sebagai kebenaran searah.
Kecerdasan diwujudkan sebagai sensor presisi dan algoritma keputusan berbasis
data, kemudian menjelma sebagai komoditas baru yang dapat diinstal, dibeli, dan
disebarluaskan secara satu arah.
Wajah CSA menawarkan efisiensi dan produktivitas yang
menjanjikan, namun menyisakan kegelisahan. Apakah kecanggihan ini juga
mengakomodasi kecerdasan ekologis dan sosial yang sudah lama hidup dalam
praktik pertanian Nusantara?
Siapa yang berhak mendefinisikan makna “cerdas”? Sejarah
panjang pertanian di Nusantara telah menunjukkan kecerdasan petani melalui
pergulatan dinamis dengan lanskap dan keberagaman kondisinya. Mereka mampu
membaca perubahan cuaca dari tanda-tanda alam, mengenali ketersedian air tanah
untuk tanaman dari warna dan fisik dedaunan ataupun merancang kalender tanam
yang lentur terhadap musim. Pengetahuan ini tidak tercetak di jurnal, manual
teknologi, ataupun dokumen rencana, melainkan hidup dalam praktik, ditularkan
dan diwariskan melalui harmoni ekologi dan sosial. Pendekatan CSA saat ini
telah menyempitkan makna kecerdasan sehingga memposisikan petani sebagai objek
dari proyek teknologi, dan bukan sebagai subjek pengetahuan. Petani disebut
“cerdas” bukan karena memahami sawah dan ladangnya, melainkan karena bisa
menggunakan gawai dan aplikasi. Kecerdasan sejati dalam menghadapi iklim yang
tidak menentu bukan sekadar soal alat, tetapi tentang daya bertahan dalam
ketidakpastian, kemampuan berimprovisasi dalam kelangkaan, dan ketekunan
membaca alam sehari-hari.
CSA wacana elitis, siapa bicara, siapa diam?
CSA sering dibicarakan sebagai solusi unggulan dalam diskusi
global tentang adaptasi iklim. Pertanyaanya, siapa yang berbicara, dan siapa
yang tidak terdengar? Sistem yang agung ini disampaikan di ruang-ruang
konferensi, webinar, kuliah dan dokumen kajian dan kebijakan melalui bahasa
teknis dan asing bagi para pelakunya sendiri, yaitu petani. Climate-resilient
agriculture, precision farming, atau digital innovation for adaptation
adalah beberapa istilah yang mengalir deras dalam narasi pembangunan pertanian.
Istilah-istilah ini bahkan tidak pernah atau belum menyentuh tanah tempat para
petani mengolah hidup mereka setiap hari.
CSA masih menjadi domain para akademisi, peneliti, aktivis,
dan pengambil kebijakan. Seperti ada dalam ruang sakral kaum "pintar"
dan jauh dari kenyataan lapangan. Alih-alih menjadi pendekatan yang tumbuh dari
bawah, CSA justru hadir sebagai paket program yang datang dari luar yang telah
dirancang dan ditentukan indikatornya, kemudian disosialisasikan kepada petani.
Model intervensi ini mereproduksi ketimpangan lama dalam pembangunan pertanian,
di mana petani hanya dianggap sebagai objek pelatihan atau penerima manfaat,
bukan sebagai penentu arah dan penggagas solusi.
Ketidakhadiran suara petani bukan karena mereka tidak
memiliki gagasan, tetapi karena ruang untuk menyuarakannya terlalu sempit dan
bahkan mungkin tidak ramah. Diksi yang digunakan dalam diskursus CSA tidak
memberi tempat bagi narasi-narasi pengalaman, intuisi, dan nilai-nilai lokal
yang menjadi dasar praktik pertanian mereka. Hasilnya, CSA justru menjadi
paradoks: sebuah konsep yang diklaim untuk petani, tapi tidak dimulai dari
petani. Jika CSA benar-benar menjadi jalan keluar dari krisis iklim, maka sudah
saatnya kita bertanya: mengapa petani tidak bicara dalam forum-forum itu?
Apakah kita benar-benar mendengarkan? Ataukah kita hanya ingin mereka
mengamini?
Membumikan CSA: belajar dari sawah, ladang dan kebun
CSA sebaiknya tidak dipahami sebagai seperangkat teknologi
canggih, melainkan sebagai cara berpikir dan bertindak yang lentur, adaptif,
dan berakar pada konteks lokal. Kenyataannya, petani telah lama menjadi aktor
utama dalam menghadapi ketidakpastian iklim. Mereka menghadapinya bukan dengan
sensor digital, tetapi dengan sensitivitas ekologis dan rekam jejak pengalaman
yang teruji waktu. Ketika musim tak menentu datang lebih awal atau hujan
tertunda lebih lama, petani tak menunggu instruksi dari pusat. Mereka membaca
alam, menyesuaikan pola budidaya, mengganti varietas, dan kadang mengambil
risiko menanam tanpa jaminan panen.
CSA perlu disusun dari bawah, dimulai dengan mendengarkan.
Program adaptasi lebih relevan bila diawali dengan pertanyaan sederhana:
bagaimana petani memahami perubahan iklim di wilayah mereka? Apa strategi lokal
yang selama ini mereka gunakan untuk bertahan? Apa tantangan yang mereka
rasakan, dan apa harapan mereka ke depan? Beberapa inisiatif di Indonesia mulai
menunjukkan arah ini. Di sejumlah wilayah, petani bersama komunitas dan
sumberdaya mereka sendiri, telah menyusun kalender tanam partisipatif, membangun
sistem peringatan dini berbasis lokal, dan melakukan pemetaan kerentanan.
Pendekatan seperti ini bukan hanya efektif secara teknis, tapi juga membangun
rasa kepemilikan, memperkuat relasi sosial, dan mendorong transformasi dari
dalam.
Membumikan CSA tidak hanya menjawab perubahan suhu dan curah
hujan, tapi juga menjawab krisis keadilan: siapa yang diberi ruang untuk
menentukan masa depan pertanian, dan siapa yang selama ini dimarjinalkan.
Membumikan CSA berarti menggeser pusat gravitasi pengetahuan, dari laboratorium
ke sawah, ladang dan kebun, dari teori ke praktik, dari intervensi ke
partisipasi.
Pada akhirnya, kita perlu merombak prespektif terhadap siapa
yang dianggap tahu, siapa yang berhak bicara, dan siapa yang memegang kendali
atas perubahan. Prespektif ini akan membuat CSA lebih dari sekadar proyek
teknokratik. Sistem pertanian yang berkelanjutan dan tangguh iklim harus
berfondasi pada keadilan. Ini bisa dicapai jika petani ditempatkan sebagai
subjek penuh, pemilik pengetahuan, pengambil keputusan, sekaligus penggagas
inovasi.
CSA yang adil dan emansipatoris tidak menutup diri pada
teknologi, melainkan mampu membuka
ruang dialog antara teknologi modern dan pengetahuan lokal. CSA mampu menciptakan
ruang kolaborasi saling belajar antara petani, akademisi, peneliti, pengambil
kebijakan.
CSA versi ini menolak dikotomi lama antara tradisional dan
modern. Ukuran keberhasilan bukanlah seberapa canggih alat yang digunakan, tapi
seberapa mampu sistem tersebut dapat memperkuat daya hidup petani, menjaga
keberlanjutan, dan menciptakan ruang bagi generasi berikutnya untuk tetap
bertani. Keberanian untuk mendefinisikan ulang “kecerdasan” dan “kemajuan”
adalah langkah penting. Bukan agar petani mengikuti CSA, tapi agar CSA
benar-benar lahir dari tanah, dari tubuh-tubuh yang sehari-hari menyentuh
lumpur, dan dari suara-suara yang selama ini hanya bergema di pinggir.
(SiBu Bayan)