Senin, 14 April 2025

Pasar Karbon: Ilusi Hijau dalam Bingkai Angka

 Catatan kampus Cikabayan (15|04|2025)

Langit kini menjadi ruang negosiasi. Di atas hutan yang masih ragu disebut lestari dan pabrik-pabrik yang enggan berhenti mengasap, karbon diperdagangkan seperti komoditas: tak terlihat namun bernilai, tak berwujud tapi bisa dipindahkan dari tangan ke tangan. Pasar karbon menjanjikan solusi tanpa revolusi: Anda tak perlu mengubah cara produksi, cukup beli hak untuk mencemari. Dalam tata ekonomi hijau yang sedang dirancang, dosa lingkungan bisa ditebus, asal punya cukup dana dan spreadsheet yang sesuai. Krisis iklim tidak dijawab perubahan struktural, melainkan menciptakan mata uang baru—unit karbon. Pertanyaan refleksi bukan hanya bagaimana perdagangan ini bekerja, melainkan apakah ini sungguh menyelamatkan dunia, atau sekadar menyusun ulang untuk menundanya? Seperti yang dikemukakan oleh Kevin Anderson (2020), "Pasar karbon sangat mudah menjadi pengalih perhatian dari kebutuhan nyata untuk benar-benar mengurangi emisi."

Pasar karbon lahir dengan janji besar, yaitu membantu dunia mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara yang efisien dan terukur. Di atas kertas, sistem ini terlihat indah. Negara atau perusahaan yang menghasilkan emisi tinggi dapat “menebus dosa” dengan membeli kredit dari entitas yang berhasil menurunkan atau menyerap karbon. Namun seiring perjalanannya, sistem ini kian menyerupai cermin kabut yang menyuguhkan citra kehijauan yang rapi, padahal fondasinya rapuh. Di Indonesia, bursa karbon diluncurkan dengan optimisme tinggi. Namun apakah benar ia mencerminkan tindakan nyata, atau sekadar menyebarkan ilusi hijau dalam bingkai angka?

Pemerintah Indonesia memperkirakan sektor kehutanan dapat menyumbang perdagangan karbon hingga 26,5 juta ton CO₂ ekuivalen pada tahun 2025, dengan nilai transaksi Rp1,6 hingga Rp3,2 triliun per tahun (Bisnis.com, 2025). Namun hingga awal 2025, volume perdagangan karbon secara nasional baru mencapai sekitar 1,5 juta ton, dengan total nilai sekitar Rp77 miliar (https://www.idxcarbon.co.id/ dan Pajak.com, 2025). Realisasi ini bahkan belum mencapai 5% dari potensi yang dijanjikan. Sementara itu, sebagian besar transaksi didominasi oleh sektor energi, sedangkan sektor kehutanan, yang digadang-gadang sebagai tulang punggung offset karbon di Indonesia, masih terhambat oleh persoalan teknis, birokrasi, dan ketidakpastian hukum.

Apa yang sebenarnya terjadi? Proyek karbon kehutanan menghadapi jalan panjang dan berliku. Proses ini memerlukan dana, waktu, dan kapasitas teknis yang tak sedikit. Audit emisi, verifikasi independen, pendaftaran ke Sistem Registrasi Nasional (SRN), hingga mendapatkan sertifikasi sebagai pengurang emisi yang sah. Proses ini sulit diakses oleh komunitas hutan adat, koperasi petani, dan pengelola hutan rakyat. Hanya aktor-aktor besar seperti korporasi energi, kehutanan industri, dan proyek yang didukung modal ventura yang dapat masuk pasar karbon. Ini ironi, hutan rakyat yang sebenarnya menyerap karbon tidak ikut menikmati nilai ekonomi karbonnya.

Lebih dari itu, banyak unit karbon yang diperdagangkan bukanlah hasil dari penurunan emisi riil, melainkan dari “penghindaran” yang didasarkan pada skenario hipotetis: “Jika proyek ini tidak ada, maka hutan akan ditebang.” Maka, karena hutan tetap utuh, dipandang seolah telah terjadi penurunan emisi. Jelas ini bukan penurunan aktual, melainkan proyeksi yang disahkan oleh skema akuntansi. Logika seperti ini menunjukkan bahwa kredit karbon yang dijual adalah sekedar penggambaran angka, bukan pemulihan ekosistem. West et al. (2023) menilai bahwa “Kredit karbon dari penghindaran deforestasi tidak mencerminkan pengurangan emisi yang nyata. Mereka merepresentasikan apa yang mungkin terjadi, bukan yang benar-benar terjadi.”

Atmosfer ini menjadikan pasar karbon berubah menjadi panggung ilusi. Kredit karbon seolah menjadi solusi iklim, padahal hanya menyamarkan ketidakinginan untuk mengubah sistem. Alih-alih berinvestasi pada reformasi struktural-energi bersih, hutan lestari, perubahan gaya hidup—pembeli karbon cukup menebus “hak mencemari” melalui pasar. Dalam jangka panjang, hal ini berisiko menciptakan halusinasi kebijakan, seolah krisis iklim sedang ditangani, padahal hanya sedang didaur ulang dalam dokumen-dokumen offset.

Bukan berarti perdagangan karbon sepenuhnya buruk. Ia bisa menjadi bagian dari solusi, asalkan dibingkai secara jujur, transparan, dan berbasis pada pengurangan emisi nyata. Namun jika terus dijadikan peredam tekanan publik, alat promosi korporasi, dan jalur cepat penebusan emisi, maka pasar karbon bukanlah jembatan ke masa depan hijau, melainkan tirai hijau yang menutupi masa kini yang kelabu. Dalam kata-kata George Monbiot (2021), “Offsetting itu seperti mengaku dosa yang Anda rencanakan untuk dilakukan kembali.”

(SiBu Bayan)