Catatan kampus Cikabayan (15|04|2025)
Langit kini menjadi ruang negosiasi. Di atas hutan yang masih ragu disebut lestari dan pabrik-pabrik yang enggan berhenti mengasap, karbon diperdagangkan seperti komoditas: tak terlihat namun bernilai, tak berwujud tapi bisa dipindahkan dari tangan ke tangan. Pasar karbon menjanjikan solusi tanpa revolusi: Anda tak perlu mengubah cara produksi, cukup beli hak untuk mencemari. Dalam tata ekonomi hijau yang sedang dirancang, dosa lingkungan bisa ditebus, asal punya cukup dana dan spreadsheet yang sesuai. Krisis iklim tidak dijawab perubahan struktural, melainkan menciptakan mata uang baru—unit karbon. Pertanyaan refleksi bukan hanya bagaimana perdagangan ini bekerja, melainkan apakah ini sungguh menyelamatkan dunia, atau sekadar menyusun ulang untuk menundanya? Seperti yang dikemukakan oleh Kevin Anderson (2020), "Pasar karbon sangat mudah menjadi pengalih perhatian dari kebutuhan nyata untuk benar-benar mengurangi emisi."
Pemerintah Indonesia memperkirakan sektor kehutanan dapat menyumbang perdagangan karbon hingga 26,5 juta ton CO₂ ekuivalen pada tahun 2025, dengan nilai transaksi Rp1,6 hingga Rp3,2 triliun per tahun (Bisnis.com, 2025). Namun hingga awal 2025, volume perdagangan karbon secara nasional baru mencapai sekitar 1,5 juta ton, dengan total nilai sekitar Rp77 miliar (https://www.idxcarbon.co.id/ dan Pajak.com, 2025). Realisasi ini bahkan belum mencapai 5% dari potensi yang dijanjikan. Sementara itu, sebagian besar transaksi didominasi oleh sektor energi, sedangkan sektor kehutanan, yang digadang-gadang sebagai tulang punggung offset karbon di Indonesia, masih terhambat oleh persoalan teknis, birokrasi, dan ketidakpastian hukum.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Proyek karbon kehutanan menghadapi jalan panjang dan berliku. Proses ini
memerlukan dana, waktu, dan kapasitas teknis yang tak sedikit. Audit emisi,
verifikasi independen, pendaftaran ke Sistem Registrasi Nasional (SRN), hingga
mendapatkan sertifikasi sebagai pengurang emisi yang sah. Proses ini sulit
diakses oleh komunitas hutan adat, koperasi petani, dan pengelola hutan rakyat.
Hanya aktor-aktor besar seperti korporasi energi, kehutanan industri, dan proyek
yang didukung modal ventura yang dapat masuk pasar karbon. Ini ironi, hutan
rakyat yang sebenarnya menyerap karbon tidak ikut menikmati nilai ekonomi
karbonnya.
Lebih dari itu, banyak unit
karbon yang diperdagangkan bukanlah hasil dari penurunan emisi riil, melainkan
dari “penghindaran” yang didasarkan pada skenario hipotetis: “Jika proyek ini
tidak ada, maka hutan akan ditebang.” Maka, karena hutan tetap utuh, dipandang
seolah telah terjadi penurunan emisi. Jelas ini bukan penurunan aktual,
melainkan proyeksi yang disahkan oleh skema akuntansi. Logika seperti ini
menunjukkan bahwa kredit karbon yang dijual adalah sekedar penggambaran angka,
bukan pemulihan ekosistem. West et al. (2023) menilai bahwa “Kredit karbon dari
penghindaran deforestasi tidak mencerminkan pengurangan emisi yang nyata.
Mereka merepresentasikan apa yang mungkin terjadi, bukan yang benar-benar
terjadi.”
Atmosfer ini menjadikan pasar
karbon berubah menjadi panggung ilusi. Kredit karbon seolah menjadi solusi
iklim, padahal hanya menyamarkan ketidakinginan untuk mengubah sistem.
Alih-alih berinvestasi pada reformasi struktural-energi bersih, hutan lestari,
perubahan gaya hidup—pembeli karbon cukup menebus “hak mencemari” melalui
pasar. Dalam jangka panjang, hal ini berisiko menciptakan halusinasi kebijakan,
seolah krisis iklim sedang ditangani, padahal hanya sedang didaur ulang dalam
dokumen-dokumen offset.
Bukan berarti perdagangan karbon
sepenuhnya buruk. Ia bisa menjadi bagian dari solusi, asalkan dibingkai secara
jujur, transparan, dan berbasis pada pengurangan emisi nyata. Namun jika terus
dijadikan peredam tekanan publik, alat promosi korporasi, dan jalur cepat
penebusan emisi, maka pasar karbon bukanlah jembatan ke masa depan
hijau, melainkan tirai hijau yang menutupi masa kini yang kelabu. Dalam
kata-kata George Monbiot (2021), “Offsetting itu seperti mengaku dosa yang Anda
rencanakan untuk dilakukan kembali.”
(SiBu Bayan)