Catatan Kampus Cikabayan
Orang-orang Nusantara kuno percaya
bahwa ketika burung prenjak mulai berkicau keras di pagi hari, itu adalah
pertanda bahwa musim kemarau akan datang. Dalam bahasa Sunda, mereka
menyebutnya, "Sora manuk nu cuit-cuit, nandakeun datangna usum
halodo," ("Suara burung yang cuit-cuit, menandakan datangnya
musim kemarau-Sunda)." Konon, setiap kicauan prenjak bukan sekadar suara,
tetapi sebuah pesan dari alam yang ingin mengingatkan manusia untuk
mempersiapkan diri menghadapi perubahan musim. Dalam cerita rakyat, prenjak
disebut sebagai penjaga musim, yang nyanyiannya adalah ritme yang mengiringi
setiap perubahan tanah, langit, dan kehidupan yang mengikutinya. Namun, di
tengah zaman yang berubah, suara prenjak yang dulu begitu akrab kini kian
menghilang, seolah-olah lagu alam itu pun ikut terkubur dalam hening.
Ketika curah hujan menurun dan
suhu meningkat, vegetasi mulai mengering dan serangga-serangga muncul lebih
aktif di pagi hari. Ini adalah kondisi ideal bagi prenjak untuk berkembang biak
dan memperluas wilayah teritori. Dalam kondisi seperti itu, aktivitas
vokalisasi mereka meningkat drastis. Kicauan yang nyaring dan berulang tidak
hanya menandai kehadirannya, tetapi juga menjadi bagian dari strategi
komunikasi untuk mencari pasangan dan mempertahankan wilayah. Secara ilmiah,
prenjak termasuk burung berperilaku musiman (seasonal). Penelitian oleh Kumar
& Singh (2003) dan Winarni et al. (2015) menunjukkan bahwa banyak spesies
burung tropis mengandalkan perubahan mikroklimat untuk memulai musim kawin dan
bersarang. Musim kemarau di wilayah tropis menyediakan stabilitas ekosistem
jangka pendek, tanpa gangguan hujan lebat atau genangan air yang merusak
sarang. Ketersediaan sinar matahari yang lebih tinggi juga memudahkan prenjak
mengeringkan bulu dan menghangatkan tubuh kecilnya yang lincah.
Kelembapan udara yang lebih
rendah juga berpengaruh terhadap jenis vegetasi yang tumbuh, mendorong
munculnya ilalang dan semak-semak kering yang merupakan habitat favorit
prenjak. Di sinilah ia membangun sarangnya, rendah dari tanah, tersembunyi
dalam semak, namun terbuka bagi pengamatan mereka yang peka akan tanda-tanda
alam. Dalam konteks tradisi lokal, suara prenjak sering diasosiasikan dengan
datangnya musim kemarau, bukan semata karena kebetulan, tetapi karena selaras
dengan respon ekologis burung ini terhadap perubahan iklim mikro dan cuaca
harian. Pengetahuan ini menjadi bagian dari etno-ornitologi, disiplin yang
menjembatani antara kearifan lokal dan sains modern (Tidemann & Gosler,
2010).
Namun, di balik kicauan riang
prenjak, ada ancaman yang mengintai kelangsungannya. Banyak burung prenjak yang
kini diburu untuk dijadikan peliharaan. Popularitasnya sebagai burung kicau
menjadikannya sasaran perburuan liar, yang pada gilirannya mengurangi populasi
mereka di alam. Meskipun prenjak sangat beradaptasi dengan perubahan musim dan
cuaca, tekanan manusia ini memperburuk kelangsungan hidup mereka. Penangkapan
burung prenjak dari alam bebas seringkali tidak diimbangi dengan upaya
konservasi yang memadai, yang menyebabkan jumlahnya semakin berkurang.
Ironisnya, suara yang seharusnya menjadi simbol kehidupan alami dan perubahan
musim kini menjadi semakin jarang terdengar, karena eksploitasinya untuk
kebutuhan manusia yang tidak berkelanjutan.
Mengamati kehidupan burung
prenjak di tengah perubahan musim memberikan kita perspektif baru tentang
hubungan manusia dengan alam. Suara nyaring yang mengisi pagi hari bukan hanya
tanda dari perubahan cuaca, tetapi juga sebuah pesan yang mengajak kita untuk
lebih peka terhadap tanda-tanda alam yang sering kali terabaikan. Seperti
halnya burung prenjak yang menyesuaikan diri dengan ritme musim kemarau, kita
juga diajak untuk memahami bahwa perubahan lingkungan tidak hanya mempengaruhi
kehidupan spesifik suatu spesies, tetapi juga seluruh ekosistem di sekitar
kita. Dalam refleksi ini, kita ditantang untuk lebih menghargai kearifan lokal
yang sering kali memiliki pemahaman mendalam tentang dinamika alam, yang
mungkin tidak selalu tampak jelas dalam ilmu pengetahuan modern.
(SiBu Bayan)