Senin, 21 April 2025

Hikayat Burung Prenjak: Sora manuk nu cuit-cuit, nandakeun datangna usum halodo

 Catatan Kampus Cikabayan

Orang-orang Nusantara kuno percaya bahwa ketika burung prenjak mulai berkicau keras di pagi hari, itu adalah pertanda bahwa musim kemarau akan datang. Dalam bahasa Sunda, mereka menyebutnya, "Sora manuk nu cuit-cuit, nandakeun datangna usum halodo," ("Suara burung yang cuit-cuit, menandakan datangnya musim kemarau-Sunda)." Konon, setiap kicauan prenjak bukan sekadar suara, tetapi sebuah pesan dari alam yang ingin mengingatkan manusia untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan musim. Dalam cerita rakyat, prenjak disebut sebagai penjaga musim, yang nyanyiannya adalah ritme yang mengiringi setiap perubahan tanah, langit, dan kehidupan yang mengikutinya. Namun, di tengah zaman yang berubah, suara prenjak yang dulu begitu akrab kini kian menghilang, seolah-olah lagu alam itu pun ikut terkubur dalam hening.

Ketika embun mulai cepat lenyap dan angin pagi membawa hawa kering yang menggigit daun, suara nyaring dan berulang memenuhi ruang udara pedesaan: “cuit-cuit-cuit…” suara burung prenjak, si kecil penjaga ritme musim. Dalam lanskap tropis yang bergeser dari basah ke kering, prenjak bukan sekadar burung penghibur pagi, melainkan penanda alami transisi menuju musim kemarau. Burung prenjak (Prinia spp.) dikenal luas di Indonesia. Ia hidup di habitat semak, padang rumput, hingga kebun-kebun terbuka. Burung ini sangat peka terhadap perubahan unsur cuaca, seperti suhu udara, curah hujan, kelembapan, dan intensitas sinar matahari, elemen-elemen yang berubah signifikan saat memasuki musim kemarau.

Ketika curah hujan menurun dan suhu meningkat, vegetasi mulai mengering dan serangga-serangga muncul lebih aktif di pagi hari. Ini adalah kondisi ideal bagi prenjak untuk berkembang biak dan memperluas wilayah teritori. Dalam kondisi seperti itu, aktivitas vokalisasi mereka meningkat drastis. Kicauan yang nyaring dan berulang tidak hanya menandai kehadirannya, tetapi juga menjadi bagian dari strategi komunikasi untuk mencari pasangan dan mempertahankan wilayah. Secara ilmiah, prenjak termasuk burung berperilaku musiman (seasonal). Penelitian oleh Kumar & Singh (2003) dan Winarni et al. (2015) menunjukkan bahwa banyak spesies burung tropis mengandalkan perubahan mikroklimat untuk memulai musim kawin dan bersarang. Musim kemarau di wilayah tropis menyediakan stabilitas ekosistem jangka pendek, tanpa gangguan hujan lebat atau genangan air yang merusak sarang. Ketersediaan sinar matahari yang lebih tinggi juga memudahkan prenjak mengeringkan bulu dan menghangatkan tubuh kecilnya yang lincah.

Kelembapan udara yang lebih rendah juga berpengaruh terhadap jenis vegetasi yang tumbuh, mendorong munculnya ilalang dan semak-semak kering yang merupakan habitat favorit prenjak. Di sinilah ia membangun sarangnya, rendah dari tanah, tersembunyi dalam semak, namun terbuka bagi pengamatan mereka yang peka akan tanda-tanda alam. Dalam konteks tradisi lokal, suara prenjak sering diasosiasikan dengan datangnya musim kemarau, bukan semata karena kebetulan, tetapi karena selaras dengan respon ekologis burung ini terhadap perubahan iklim mikro dan cuaca harian. Pengetahuan ini menjadi bagian dari etno-ornitologi, disiplin yang menjembatani antara kearifan lokal dan sains modern (Tidemann & Gosler, 2010).

Namun, di balik kicauan riang prenjak, ada ancaman yang mengintai kelangsungannya. Banyak burung prenjak yang kini diburu untuk dijadikan peliharaan. Popularitasnya sebagai burung kicau menjadikannya sasaran perburuan liar, yang pada gilirannya mengurangi populasi mereka di alam. Meskipun prenjak sangat beradaptasi dengan perubahan musim dan cuaca, tekanan manusia ini memperburuk kelangsungan hidup mereka. Penangkapan burung prenjak dari alam bebas seringkali tidak diimbangi dengan upaya konservasi yang memadai, yang menyebabkan jumlahnya semakin berkurang. Ironisnya, suara yang seharusnya menjadi simbol kehidupan alami dan perubahan musim kini menjadi semakin jarang terdengar, karena eksploitasinya untuk kebutuhan manusia yang tidak berkelanjutan.

Mengamati kehidupan burung prenjak di tengah perubahan musim memberikan kita perspektif baru tentang hubungan manusia dengan alam. Suara nyaring yang mengisi pagi hari bukan hanya tanda dari perubahan cuaca, tetapi juga sebuah pesan yang mengajak kita untuk lebih peka terhadap tanda-tanda alam yang sering kali terabaikan. Seperti halnya burung prenjak yang menyesuaikan diri dengan ritme musim kemarau, kita juga diajak untuk memahami bahwa perubahan lingkungan tidak hanya mempengaruhi kehidupan spesifik suatu spesies, tetapi juga seluruh ekosistem di sekitar kita. Dalam refleksi ini, kita ditantang untuk lebih menghargai kearifan lokal yang sering kali memiliki pemahaman mendalam tentang dinamika alam, yang mungkin tidak selalu tampak jelas dalam ilmu pengetahuan modern.

(SiBu Bayan)