Sabtu, 12 April 2025

Ketahanan Pangan dalam Ruang yang Dikunci: Krisis Lahan, Deforestasi, dan Kedaulatan Ruang

Catatan Kampus Cikabayan (09|04|2025)

Ketahanan pangan Indonesia berada dalam tekanan ganda antara kebutuhan untuk memperluas lahan pertanian tanaman pangan dan tuntutan global mitigasi perubahan iklim yang melestarikan hutan. Data Kementerian ATR/BPN tahun 2022, luas baku sawah nasional adalah 7,46 juta hektare atau dengan kata lain menghasilkan rasio hanya 276 m2/kapita. Angka ini termasuk rendah jika dibandingkan dengan negara-negara penghasil beras utama seperti Thailand (5.230 m²/kapita), Myanmar (2.460 m²/kapita), Vietnam (1.080 m²/kapita), dan India (1.090 m²/kapita) menurut data FAOStat dan World Bank (2021–2022). Negara-negara ini adalah pemasok beras utama ke Indonesia. Ini sinyalemen alarm bagi ketahanan pangan nasional, terutama ketika produksi pangan belum sepenuhnya mampu mengejar pertumbuhan jumlah penduduk dan perubahan pola konsumsi. Di sisi lain, agenda konservasi dan komitmen pengurangan deforestasi menjadi batas ruang gerak ekspansi lahan pertanian. Pertanyaan mendasarnya, bagaimana Indonesia dapat menjamin ketahanan pangan ketika lahan pertanian yang tersedia semakin terbatas dan perluasan ke kawasan hutan menghadapi hambatan ekologis dan etis?

Rasio lahan sawah per kapita yang rendah di Indonesia ini semakin diperparah oleh laju alih fungsi lahan pertanian yang kian masif. Data Kementerian Pertanian (2021) menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan sekitar 96.500 hektare lahan sawah setiap tahun akibat konversi ke lahan non-pertanian seperti kawasan permukiman, industri, dan infrastruktur. Keadaan ini nyata di pulau Jawa yang selama ini menjadi lumbung padi nasional. Sebagian besar sawah produktif dan irigasi teknis terbaik ada di pulau ini. Ini jelas masalah serius kedaulatan pangan secara nasional. Upaya pengganti melalui cetak sawah baru di luar Jawa kerap menemui kendala teknis seperti kualitas tanah, ketersediaan air, dan keberlanjutan ekosistem. Dengan kata lain, setiap hektare sawah yang hilang tidak mudah digantikan secara ekuivalen di tempat lain, baik dari segi hasil maupun efisiensi.

Keterbatasan lahan dan laju alih fungsi yang tinggi mendorong perluasan lahan pertanian ke luar wilayah tradisionalnya, termasuk ke kawasan hutan. Ini adalah langkah logis untuk mengejar kedaulatan pangan; namun di sisi lain, konversi hutan menjadi lahan pertanian memicu dilema besar karena berisiko menimbulkan deforestasi yang merusak fungsi ekologis serta melemahkan komitmen perubahan iklim. Lahan kering dan rawa-rawa yang berpotensi sebagai lahan pangan masih banyak tersedia di beberapa wilayah di luar Jawa, namun banyak yang tumpang tindih dengan kawasan hutan, ekosistem gambut, atau wilayah bernilai konservasi tinggi. Pembukaan hutan dinilai dapat melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar, dan ini kontraproduktif dengan target net-zero emission Indonesia pada 2060. Komitmen internasional untuk menurunkan emisi dan menjaga biodiversitas telah menjadi penghambat perluasan lahan untuk pangan, sekaligus mengungkap batas ekologis dan etis yang tak bisa diabaikan.

Ketika ekspansi lahan terkendala oleh batas ekologis dan komitmen lingkungan global, intensifikasi pertanian dianggap sebagian kalangan adalah alternatif strategis. Pendekatan ini pun menghadapi batasan dan kendala serius. Sentra-sentra produksi padi mengalami titik jenuh produktivitas denganrata-rata hasil di kisaran 5–5,5 ton/ha hektare. Intensifikasi memerlukan intervensi teknologi tinggi, investasi sarana produksi, dan menghadapi kendala kapasitas petani yang tidak merata. Intensifikasi yang agresif tanpa pendekatan ekologi yang bijak justru dapat mempercepat degradasi tanah, menurunkan keberagaman hayati mikroba, dan meningkatkan kerentanan terhadap perubahan iklim. Program seperti perlindungan lahan pertanian berkelanjutan (LP2B) belum sepenuhnya menjawab akar persoalan, yaitu minimnya lahan pangan per kapita, kejenuhan produksi di tingkat tapak, serta lemahnya ketahanan terhadap gejolak cuaca maupun pasar global. Selain itu juga isu tentang regulasi dan kelembagaan program LP2B yang masih jauh dari cita-citanya. Mewujudkan ketahanan pangan pangan tidak cukup dengan memilih antara perluasan atau intensifikasi, melainkan membutuhkan pendekatan terpadu yang holistik, kontekstual, dan lintas sektor.

Indonesia menghadapi dilema struktural. Situasi ini mencerminkan kontradiksi dan paradoks yang kompleks untuk ketahanan pangan. Kebutuhan mendesak untuk menjamin ketahanan pangan berhadapan dengan tekanan ekologis, sosial, dan politik yang kian berat. Keterbatasan lahan tanaman pangan per kapita di Indonesia menunjukkan urgensi restrukturisasi kebijakan pertanian dan tata ruang nasional. Perluasan lahan terkunci oleh batas ekologis dan tekanan global terhadap deforestasi, sedangkan intensifikasi menghadapi keterbatasan teknis serta degradasi lingkungan. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan mendasar, sampai sejauh mana Indonesia berdaulat atas ruang hidupnya sendiri?

Hak untuk mengelola lahan, termasuk membuka kawasan hutan untuk pertanian, sering kali dibatasi oleh komitmen internasional terhadap iklim dan keanekaragaman hayati. Namun di sisi lain, ketahanan pangan adalah hak asasi dan kepentingan nasional yang tak bisa ditawar. Tantangan ke depan bukan hanya soal efisiensi atau konservasi, tetapi soal bagaimana menegosiasikan ulang posisi Indonesia dalam tata kelola global, tanpa kehilangan kendali atas ruang domestiknya. Pendekatan kebijakan yang berlapis diperlukan untuk memperkuat perlindungan lahan pangan yang tersisa, mengembangkan pertanian ekologis, mendistribusikan ruang secara lebih adil, dan membangun narasi baru kedaulatan ruang yang menyandingkan keberlanjutan dan keadilan pangan. Pada akhirnya, ketahanan pangan sejati tidak bisa dibangun dalam ruang yang dikunci.

(SiBu Bayan)