Catatan Kampus Cikabayan (10|04|2025)
Selamat datang angin
Tenggara. Angin kering yang membisikkan nama-nama lama dari cerita rakyat. Tangaroa,
dewa penguasa lautan dalam mitologi Timur Nusantara kuno dipercaya turun dari
langit untuk menguji ketahanan bumi. Di tanah sawah dan ladang yang akan retak,
kehadirannya terasa bukan hanya sebagai fenomena alam, tetapi sebagai pengingat
apakah kita sudah cukup bijak mengelola air, atau justru menimbun keserakahan
di bendungan dan birokrasi? Tahun ini kita menyambut musim kemarau dengan
catatan prediktif yang "seolah menenangkan”. Menurut prediksi resmi BMKG,
musim kemarau 2025 akan datang tanpa anomali besar dengan curah hujan cenderung
normal, El Niño netral dan IOD stabil. Sebagian besar wilayah Indonesia akan
memasuki musim kemarau mulai bulan April hingga Juni, dan puncaknya terjadi
pada Juni hingga Agustus. Namun justru karena itu, mengantarkan kita pada
pertanyaan apakah sistem tata kelola air kita mampu menghadapi kemarau yang “biasa-biasa
saja”?
Bukan
sekedar cuaca: kekeringan cermin ketimpangan
Setiap
musim kemarau datang, kita cenderung menengadah ke langit, berharap hujan turun
atau menyalahkan El Niño yang datang terlalu dini. Barangkali kita perlu
menunduk sejenak, memeriksa tanah yang retak, irigasi yang mangkrak, cara kita
menanam yang ugal-ugalan dan kebijakan yang belum sepenuhnya memihak petani.
Kekeringan bukan hanya manifestasi dari anomali cuaca, melainkan cerminan dari
rapuhnya sistem pengelolaan air yang dibentuk manusia sendiri. Ketika
infrastruktur gagal menjangkau sawah, dan distribusi air lebih ditentukan oleh
kekuasaan ketimbang kebutuhan, maka kekeringan berubah dari fenomena alam
menjadi potret ketimpangan struktural.
Refleksi ini menemukan
bentuk konkretnya dalam persoalan di lapangan, dari tanah yang kehilangan
cadangan air hingga saluran irigasi yang tersumbat dan tak terurus. Kekeringan
di lahan pertanian bukan semata-mata karena awan enggan meneteskan hujan. Ia lahir
dari akumulasi kelemahan: tanah tanpa cadangan air, jaringan irigasi yang
tersumbat lumpur dan waktu, serta kelembagaan yang sibuk saling lempar tanggung
jawab. Data dari Kementerian PUPR menunjukkan bahwa hingga 2024, pemanfaatan
air irigasi dari bendungan baru mencapai sekitar 11% dari total kebutuhan
nasional, meskipun 45 dari 61 bendungan strategis telah rampung dibangun
(Kompas, 2 September 2024). Ini menunjukkan bahwa pembangunan fisik belum
otomatis menjamin distribusi air yang efektif.
Kekeringan lahan pertanian
kerap direspon cepat oleh pemerintah dengan program pompanisasi. Air disedot
tidak hanya dari sungai melainkan juga dari sumur dangkal dan sumur dalam untuk
dialirkan menuju lahan pertanian. Namun pendekatan ini bersifat sementara dan
tidak menyentuh akar masalah tata kelola air. Pompanisasi sering kali tidak
merata, memakan biaya operasional tinggi, bergantung pada bahan bakar, dan
dalam banyak kasus hanya menjangkau wilayah yang dekat dengan sumber air atau
memiliki akses jalan dan logistik. Sementara itu, petani kecil yang berada jauh
dari akses tersebut sering kali terpinggirkan. Di balik setiap hektar sawah
yang mengering, tersembunyi kisah tentang absennya negara dan hadirnya
birokrasi yang tak menjangkau akar persoalan.
Infrastruktur ada, air tak
sampai
Ini
bukan asumsi kosong, tetapi tergambar jelas dalam data dan pernyataan resmi
dari lembaga-lenbaga pemerintah. Secara administratif, Indonesia memang
memiliki ribuan bendungan, embung, dan jaringan irigasi yang terdaftar. Namun
angka-angka ini menyisakan satu pertanyaan mendasar. Berapa persen dari
infrastruktur itu yang benar-benar berfungsi dan menjangkau lahan-lahan petani?
Menurut
Kementerian PUPR, sekitar 80% sawah di Indonesia masih bergantung langsung pada
curah hujan, bukan pada sistem irigasi teknis yang berkelanjutan (Detik
Finance, 7 Februari 2024). Wakil Menteri Dalam Negeri (2022-2024), John Wempi
Wetipo, bahkan menyatakan bahwa per Oktober 2023, sebanyak 46% jaringan irigasi
di Indonesia mengalami kerusakan, yang mencerminkan minimnya pemeliharaan
terhadap infrastruktur yang telah ada (Sindonews, 18 Oktober 2023). Di Provinsi
Lampung, Pj Gubernur Samsudin mengungkapkan bahwa 37% jaringan irigasi rusak,
sebagian besar akibat sedimentasi tinggi yang tidak pernah dikeruk
(Kupastuntas, 28 Desember 2024). Kondisi serupa terjadi di Kabupaten
Gunungkidul, Yogyakarta, di mana sekitar 76% jaringan irigasi pertanian
dilaporkan rusak pada awal 2024 (Harian Jogja, 6 Februari 2024). Di Kabupaten
Ngawi, dari total 457 kilometer jaringan irigasi yang tercatat, hanya 87
kilometer yang masih berfungsi dengan baik. Sisanya mengalami berbagai tingkat
kerusakan: 116 kilometer rusak berat, 182 kilometer rusak sedang, dan 71
kilometer rusak ringan (Radar Madiun, 28 Februari 2024).
Sementara proyek irigasi
baru terus dibangun, pemeliharaan terhadap jaringan lama kerap diabaikan.
Ketimpangan ini tidak hanya menunjukkan kegagalan teknis, tetapi juga
mencerminkan siapa yang mendapat prioritas dalam distribusi air. Ketika akses
terhadap air ditentukan oleh kedekatan dengan kekuasaan dan bukan oleh
kebutuhan pertanian, maka kekeringan bukan lagi sekadar bencana alam. Ia
menjadi cermin dari ketimpangan politik dalam pengelolaan sumber daya.
Infrastruktur
yang rusak hanyalah gejala permukaan. Ada persoalan yang lebih mendasar yaitu
tata kelola air yang terfragmentasi dan tak berpemimpin. Persoalan air bukan
hanya soal teknis atau hidrologis. Ini adalah soal siapa yang memutuskan, siapa
yang dilibatkan, dan siapa yang dilupakan. Tata kelola air di Indonesia adalah
cerita tentang orkestra tanpa konduktor: BMKG bicara cuaca, Kementerian
Pertanian fokus pada pupuk, PUPR mengurus irigasi, sementara pemerintah daerah
kerap tak berdaya secara anggaran. Di tengah semua itu, petani menjadi entitas
yang paling terdampak tapi paling tidak didengar. Institusi seperti P3A hanya
hidup di atas kertas, tanpa kapasitas atau otonomi. Wajar jika kekeringan terus
datang, bukan sebagai kejutan, tetapi sebagai pengulangan sistemik.
Kekeringan adalah pilihan
Kita perlu membalik cara
pandang terhadap kekeringan, sehingga dapat melakukan perubahan lebih dari
sekedar tambal sulam teknis. Tidak lagi sekedar mitigasi bencana, tetapi
mendesak untuk reformasi tata kelola. Bukan proyek besar-besaran, melainkan
pemeliharaan yang berkelanjutan dan berbasis partisipasi lokal. Betul, bahwa
kekeringan berkaitan dengan curah hujan, namun cara kita merawat dan mengelola
air yang ada lebih menentukan dampaknya. Musim kemarau akan terus menjadi musim
kecemasan selama air hanya diposisikan sebagai objek teknis dan bukan sebagai
hak dasar yang adil dan setara. Kebijakan darurat seperti pompanisasi bisa
menjadi penyangga sesaat, namun tidak dapat menjadi solusi utama menghadapi
siklus kekeringan yang berulang. Saat pompa-pompa air menderu di atas lahan
yang mengering, kita perlu bertanya, apakah itu penanda kesiapan atau kepanikan
kolektif? Ketiadaan upaya membangun sistem irigasi yang tangguh, efisien, dan
adil, maka pompanisasi hanya menunda krisis berikutnya. Musim kemarau barangkali
tak bisa dicegah, tetapi kekeringan yang berulang adalah pilihan. Dan setiap
pilihan selalu punya alternatif.
(SiBu Bayan)