Sabtu, 12 April 2025

Ketika Tanah Retak Bukan Karena Langit: Kekeringan sebagai Gejala Sistemik

Catatan Kampus Cikabayan (10|04|2025)

Selamat datang angin Tenggara. Angin kering yang membisikkan nama-nama lama dari cerita rakyat. Tangaroa, dewa penguasa lautan dalam mitologi Timur Nusantara kuno dipercaya turun dari langit untuk menguji ketahanan bumi. Di tanah sawah dan ladang yang akan retak, kehadirannya terasa bukan hanya sebagai fenomena alam, tetapi sebagai pengingat apakah kita sudah cukup bijak mengelola air, atau justru menimbun keserakahan di bendungan dan birokrasi? Tahun ini kita menyambut musim kemarau dengan catatan prediktif yang "seolah menenangkan”. Menurut prediksi resmi BMKG, musim kemarau 2025 akan datang tanpa anomali besar dengan curah hujan cenderung normal, El Niño netral dan IOD stabil. Sebagian besar wilayah Indonesia akan memasuki musim kemarau mulai bulan April hingga Juni, dan puncaknya terjadi pada Juni hingga Agustus. Namun justru karena itu, mengantarkan kita pada pertanyaan apakah sistem tata kelola air kita mampu menghadapi kemarau yang “biasa-biasa saja”?

Bukan sekedar cuaca: kekeringan cermin ketimpangan

Setiap musim kemarau datang, kita cenderung menengadah ke langit, berharap hujan turun atau menyalahkan El Niño yang datang terlalu dini. Barangkali kita perlu menunduk sejenak, memeriksa tanah yang retak, irigasi yang mangkrak, cara kita menanam yang ugal-ugalan dan kebijakan yang belum sepenuhnya memihak petani. Kekeringan bukan hanya manifestasi dari anomali cuaca, melainkan cerminan dari rapuhnya sistem pengelolaan air yang dibentuk manusia sendiri. Ketika infrastruktur gagal menjangkau sawah, dan distribusi air lebih ditentukan oleh kekuasaan ketimbang kebutuhan, maka kekeringan berubah dari fenomena alam menjadi potret ketimpangan struktural.

Refleksi ini menemukan bentuk konkretnya dalam persoalan di lapangan, dari tanah yang kehilangan cadangan air hingga saluran irigasi yang tersumbat dan tak terurus. Kekeringan di lahan pertanian bukan semata-mata karena awan enggan meneteskan hujan. Ia lahir dari akumulasi kelemahan: tanah tanpa cadangan air, jaringan irigasi yang tersumbat lumpur dan waktu, serta kelembagaan yang sibuk saling lempar tanggung jawab. Data dari Kementerian PUPR menunjukkan bahwa hingga 2024, pemanfaatan air irigasi dari bendungan baru mencapai sekitar 11% dari total kebutuhan nasional, meskipun 45 dari 61 bendungan strategis telah rampung dibangun (Kompas, 2 September 2024). Ini menunjukkan bahwa pembangunan fisik belum otomatis menjamin distribusi air yang efektif.

Kekeringan lahan pertanian kerap direspon cepat oleh pemerintah dengan program pompanisasi. Air disedot tidak hanya dari sungai melainkan juga dari sumur dangkal dan sumur dalam untuk dialirkan menuju lahan pertanian. Namun pendekatan ini bersifat sementara dan tidak menyentuh akar masalah tata kelola air. Pompanisasi sering kali tidak merata, memakan biaya operasional tinggi, bergantung pada bahan bakar, dan dalam banyak kasus hanya menjangkau wilayah yang dekat dengan sumber air atau memiliki akses jalan dan logistik. Sementara itu, petani kecil yang berada jauh dari akses tersebut sering kali terpinggirkan. Di balik setiap hektar sawah yang mengering, tersembunyi kisah tentang absennya negara dan hadirnya birokrasi yang tak menjangkau akar persoalan.

Infrastruktur ada, air tak sampai

Ini bukan asumsi kosong, tetapi tergambar jelas dalam data dan pernyataan resmi dari lembaga-lenbaga pemerintah. Secara administratif, Indonesia memang memiliki ribuan bendungan, embung, dan jaringan irigasi yang terdaftar. Namun angka-angka ini menyisakan satu pertanyaan mendasar. Berapa persen dari infrastruktur itu yang benar-benar berfungsi dan menjangkau lahan-lahan petani?

Menurut Kementerian PUPR, sekitar 80% sawah di Indonesia masih bergantung langsung pada curah hujan, bukan pada sistem irigasi teknis yang berkelanjutan (Detik Finance, 7 Februari 2024). Wakil Menteri Dalam Negeri (2022-2024), John Wempi Wetipo, bahkan menyatakan bahwa per Oktober 2023, sebanyak 46% jaringan irigasi di Indonesia mengalami kerusakan, yang mencerminkan minimnya pemeliharaan terhadap infrastruktur yang telah ada (Sindonews, 18 Oktober 2023). Di Provinsi Lampung, Pj Gubernur Samsudin mengungkapkan bahwa 37% jaringan irigasi rusak, sebagian besar akibat sedimentasi tinggi yang tidak pernah dikeruk (Kupastuntas, 28 Desember 2024). Kondisi serupa terjadi di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, di mana sekitar 76% jaringan irigasi pertanian dilaporkan rusak pada awal 2024 (Harian Jogja, 6 Februari 2024). Di Kabupaten Ngawi, dari total 457 kilometer jaringan irigasi yang tercatat, hanya 87 kilometer yang masih berfungsi dengan baik. Sisanya mengalami berbagai tingkat kerusakan: 116 kilometer rusak berat, 182 kilometer rusak sedang, dan 71 kilometer rusak ringan (Radar Madiun, 28 Februari 2024).

Sementara proyek irigasi baru terus dibangun, pemeliharaan terhadap jaringan lama kerap diabaikan. Ketimpangan ini tidak hanya menunjukkan kegagalan teknis, tetapi juga mencerminkan siapa yang mendapat prioritas dalam distribusi air. Ketika akses terhadap air ditentukan oleh kedekatan dengan kekuasaan dan bukan oleh kebutuhan pertanian, maka kekeringan bukan lagi sekadar bencana alam. Ia menjadi cermin dari ketimpangan politik dalam pengelolaan sumber daya.

Infrastruktur yang rusak hanyalah gejala permukaan. Ada persoalan yang lebih mendasar yaitu tata kelola air yang terfragmentasi dan tak berpemimpin. Persoalan air bukan hanya soal teknis atau hidrologis. Ini adalah soal siapa yang memutuskan, siapa yang dilibatkan, dan siapa yang dilupakan. Tata kelola air di Indonesia adalah cerita tentang orkestra tanpa konduktor: BMKG bicara cuaca, Kementerian Pertanian fokus pada pupuk, PUPR mengurus irigasi, sementara pemerintah daerah kerap tak berdaya secara anggaran. Di tengah semua itu, petani menjadi entitas yang paling terdampak tapi paling tidak didengar. Institusi seperti P3A hanya hidup di atas kertas, tanpa kapasitas atau otonomi. Wajar jika kekeringan terus datang, bukan sebagai kejutan, tetapi sebagai pengulangan sistemik.

Kekeringan adalah pilihan

Kita perlu membalik cara pandang terhadap kekeringan, sehingga dapat melakukan perubahan lebih dari sekedar tambal sulam teknis. Tidak lagi sekedar mitigasi bencana, tetapi mendesak untuk reformasi tata kelola. Bukan proyek besar-besaran, melainkan pemeliharaan yang berkelanjutan dan berbasis partisipasi lokal. Betul, bahwa kekeringan berkaitan dengan curah hujan, namun cara kita merawat dan mengelola air yang ada lebih menentukan dampaknya. Musim kemarau akan terus menjadi musim kecemasan selama air hanya diposisikan sebagai objek teknis dan bukan sebagai hak dasar yang adil dan setara. Kebijakan darurat seperti pompanisasi bisa menjadi penyangga sesaat, namun tidak dapat menjadi solusi utama menghadapi siklus kekeringan yang berulang. Saat pompa-pompa air menderu di atas lahan yang mengering, kita perlu bertanya, apakah itu penanda kesiapan atau kepanikan kolektif? Ketiadaan upaya membangun sistem irigasi yang tangguh, efisien, dan adil, maka pompanisasi hanya menunda krisis berikutnya. Musim kemarau barangkali tak bisa dicegah, tetapi kekeringan yang berulang adalah pilihan. Dan setiap pilihan selalu punya alternatif.

(SiBu Bayan)