Catatan kampus Cikabayan

Capung bukan sekadar serangga
bersayap bening yang hinggap di atas ranting atau ilalang. Ia adalah simbol
hidup yang menceritakan peralihan waktu. Dari telur yang tertinggal di air,
hingga larva yang memburu dalam lumpur, capung melewati metamorfosis yang
mengesankan. Di dunia capung, ada pesan yang tersembunyi tentang air yang
datang dan pergi, tentang musim yang berganti. Ketika musim hujan mulai mereda
dan air mengering, capung akan muncul. Banyak, mendadak, dengan sayap yang
berkilau seperti cahaya matahari yang menusuk permukaan air yang surut. Bagi
masyarakat petani di pedalaman Jawa, terutama di Banyumas, kehadiran capung
merupakan pertanda yang sangat jelas. Mereka punya ungkapan: “Wis akeh kinjeng,
tandhane arep ketigo,” yang berarti capung yang mulai banyak menjadi tanda
bahwa kemarau sudah dekat.
Ilmu pengetahuan modern pun
membenarkan hal ini. Capung adalah bioindikator, makhluk hidup yang
dapat menunjukkan perubahan ekosistem dengan sangat sensitif. Keberadaannya
yang bergantung pada air menjadikan capung sebagai penanda langsung kualitas
dan kuantitas air di sekitar mereka. Larva capung hidup di dalam air, dan
ketika air mulai surut karena perubahan musim atau perubahan iklim, mereka akan
bertransformasi lebih cepat, menjadi capung dewasa yang terbang di udara. Ini
adalah mekanisme alam yang telah berlangsung lama. Seperti yang dijelaskan oleh
Corbet (2004), kehidupan capung sangat erat kaitannya dengan perubahan
lingkungan. Sementara itu, dalam konteks perubahan iklim, ada penelitian yang
menunjukkan bahwa waktu munculnya capung pun bisa bergeser, yang
mengindikasikan bahwa iklim yang berubah mempengaruhi siklus hidup mereka.
Namun, belakangan ini, capung
mulai muncul lebih awal dari biasanya. Terkadang mereka datang sebelum
waktunya, terbang di atas lahan yang kering, atau di bulan yang mestinya masih
basah. Apakah ini sekadar anomali? Ataukah ada pesan yang lebih mendalam yang
disampaikan oleh capung? Suhu yang terus meningkat, curah hujan yang tak
menentu, dan air yang cepat mengering telah mengubah siklus alami ini. Capung,
yang dulu menjadi penanda waktu, kini mungkin juga menjadi simbol dari krisis
alam yang sedang terjadi. Penelitian oleh Hassall dkk. (2007) bahkan
mengonfirmasi bahwa pergeseran waktu kemunculan capung menunjukkan adanya
gangguan dalam ekosistem yang lebih besar. Capung mungkin tidak hanya sekadar
makhluk yang datang dengan musim, tetapi juga peringatan bahwa musim yang kita
kenal kini semakin sulit dipahami.
Di tengah semua itu, ada
kebijaksanaan lama yang mulai terlupakan. Orang tua di pedesaan tidak hanya
mengandalkan perhitungan ilmiah untuk memahami musim. Mereka menatap langit,
memperhatikan capung yang terbang rendah di atas sawah, dan membaca tanda-tanda
alam dengan cara yang sudah diturunkan selama berabad-abad. Sementara kita
sibuk dengan laporan cuaca dan satelit, mereka membaca kehadiran capung sebagai
penanda perubahan yang lebih mendalam, yang mungkin belum kita pahami
sepenuhnya. Saat capung terbang rendah, mereka tidak hanya memberi tahu bahwa
air akan hilang, tetapi mungkin juga menyampaikan peringatan bahwa sesuatu yang
lebih besar, sesuatu yang lebih mendalam, sedang terjadi pada bumi ini.
Capung, dengan segala
keanggunannya, mengajarkan kita lebih dari sekadar siklus alam. Ia adalah
pengingat bahwa hubungan kita dengan alam adalah simfoni yang penuh makna, yang
sering kali terabaikan di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern. Saat musim mulai
tak teratur, dan langit semakin tak menentu, mari kita berhenti sejenak dan
mendengarkan suara yang dibawa oleh sayap capung. Jangan hanya menunggu ramalan
cuaca, karena alam dalam kesunyian dan ketenangannya, telah lebih dulu memberi
kita petunjuk.
"Ketika capung menari
rendah di cakrawala, ia bukan sekadar menyapa kita, ia mengetuk pintu
kesadaran, memanggil kita untuk kembali mendengar bahasa alam yang telah
terlalu lama kita diamkan."
(SiBu Bayan)