Jumat, 18 April 2025

Kisah Cinta Capung “Wis akeh kinjeng, tandhane arep ketigo”

 Catatan kampus Cikabayan

Di sebuah dusun di Banyumas, terdapat sebuah cerita lama yang diwariskan turun-temurun. Alkisah ada seekor capung yang jatuh cinta pada danau. Setiap hari, capung itu terbang menari di atas permukaan danau, menyentuh bayangannya yang terpantul di air, mengira itu adalah cinta sejatinya. Namun, waktu bergulir dan musim pun berubah. Matahari mulai memanggang tanah lebih lama dari biasanya. Danau yang dulu penuh kini mengering perlahan, menyisakan retakan dan ilalang. Bayangannya pun menghilang, dan capung itu terbang lebih tinggi, menari di udara panas, menunggu hujan yang tak kunjung datang. Orang tua di dusun itu pun berkata, “Kalau kau lihat capung menari di langit, janganlah hanya memuji keindahannya. Dengarlah, ia sedang mengabarkan air yang akan pergi.” Begitulah capung, makhluk yang menjadi penanda musim, berperan bukan hanya sebagai penghias alam, tetapi juga sebagai saksi bisu dari perubahan besar yang terjadi di bumi.

Di berbagai penjuru Indonesia, capung hadir bukan hanya sebagai makhluk alam, tapi juga sebagai bagian budaya. Orang Jawa menyebutnya kinjeng/kinjer/gantrung/koncrong, sering dikaitkan dengan sawah, ilalang, dan matahari yang mulai menyengat. Orang Sunda menyebutnya Papatong, Beberet, KoncronganDi Bali, ia dikenal sebagai jangkrik air, nama yang menyesatkan karena ia bukan jangkrik, tetapi makhluk yang lahir dari air dan menjelma jadi penjaga langit. Di Kalimantan Selatan, suku Banjar menyebutnya layang-layang, serupa dengan permainan anak-anak yang terbang di angkasa. Di Nusa Tenggara Timur, ia disebut kuf atau kufi, makhluk kecil yang dianggap membawa kabar tentang air, waktu, dan angin. Di Papua, ia dikenal sebagai sawa, sering hadir di cerita rakyat sebagai roh penjelajah alam.

Capung bukan sekadar serangga bersayap bening yang hinggap di atas ranting atau ilalang. Ia adalah simbol hidup yang menceritakan peralihan waktu. Dari telur yang tertinggal di air, hingga larva yang memburu dalam lumpur, capung melewati metamorfosis yang mengesankan. Di dunia capung, ada pesan yang tersembunyi tentang air yang datang dan pergi, tentang musim yang berganti. Ketika musim hujan mulai mereda dan air mengering, capung akan muncul. Banyak, mendadak, dengan sayap yang berkilau seperti cahaya matahari yang menusuk permukaan air yang surut. Bagi masyarakat petani di pedalaman Jawa, terutama di Banyumas, kehadiran capung merupakan pertanda yang sangat jelas. Mereka punya ungkapan: “Wis akeh kinjeng, tandhane arep ketigo,” yang berarti capung yang mulai banyak menjadi tanda bahwa kemarau sudah dekat.

Ilmu pengetahuan modern pun membenarkan hal ini. Capung adalah bioindikator, makhluk hidup yang dapat menunjukkan perubahan ekosistem dengan sangat sensitif. Keberadaannya yang bergantung pada air menjadikan capung sebagai penanda langsung kualitas dan kuantitas air di sekitar mereka. Larva capung hidup di dalam air, dan ketika air mulai surut karena perubahan musim atau perubahan iklim, mereka akan bertransformasi lebih cepat, menjadi capung dewasa yang terbang di udara. Ini adalah mekanisme alam yang telah berlangsung lama. Seperti yang dijelaskan oleh Corbet (2004), kehidupan capung sangat erat kaitannya dengan perubahan lingkungan. Sementara itu, dalam konteks perubahan iklim, ada penelitian yang menunjukkan bahwa waktu munculnya capung pun bisa bergeser, yang mengindikasikan bahwa iklim yang berubah mempengaruhi siklus hidup mereka.

Namun, belakangan ini, capung mulai muncul lebih awal dari biasanya. Terkadang mereka datang sebelum waktunya, terbang di atas lahan yang kering, atau di bulan yang mestinya masih basah. Apakah ini sekadar anomali? Ataukah ada pesan yang lebih mendalam yang disampaikan oleh capung? Suhu yang terus meningkat, curah hujan yang tak menentu, dan air yang cepat mengering telah mengubah siklus alami ini. Capung, yang dulu menjadi penanda waktu, kini mungkin juga menjadi simbol dari krisis alam yang sedang terjadi. Penelitian oleh Hassall dkk. (2007) bahkan mengonfirmasi bahwa pergeseran waktu kemunculan capung menunjukkan adanya gangguan dalam ekosistem yang lebih besar. Capung mungkin tidak hanya sekadar makhluk yang datang dengan musim, tetapi juga peringatan bahwa musim yang kita kenal kini semakin sulit dipahami.

Di tengah semua itu, ada kebijaksanaan lama yang mulai terlupakan. Orang tua di pedesaan tidak hanya mengandalkan perhitungan ilmiah untuk memahami musim. Mereka menatap langit, memperhatikan capung yang terbang rendah di atas sawah, dan membaca tanda-tanda alam dengan cara yang sudah diturunkan selama berabad-abad. Sementara kita sibuk dengan laporan cuaca dan satelit, mereka membaca kehadiran capung sebagai penanda perubahan yang lebih mendalam, yang mungkin belum kita pahami sepenuhnya. Saat capung terbang rendah, mereka tidak hanya memberi tahu bahwa air akan hilang, tetapi mungkin juga menyampaikan peringatan bahwa sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang lebih mendalam, sedang terjadi pada bumi ini.

Capung, dengan segala keanggunannya, mengajarkan kita lebih dari sekadar siklus alam. Ia adalah pengingat bahwa hubungan kita dengan alam adalah simfoni yang penuh makna, yang sering kali terabaikan di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern. Saat musim mulai tak teratur, dan langit semakin tak menentu, mari kita berhenti sejenak dan mendengarkan suara yang dibawa oleh sayap capung. Jangan hanya menunggu ramalan cuaca, karena alam dalam kesunyian dan ketenangannya, telah lebih dulu memberi kita petunjuk.

"Ketika capung menari rendah di cakrawala, ia bukan sekadar menyapa kita, ia mengetuk pintu kesadaran, memanggil kita untuk kembali mendengar bahasa alam yang telah terlalu lama kita diamkan."

(SiBu Bayan)