Catatan Kampus Cikabayan (08|04|2025), dikuat juga di https://pili.or.id/melampaui-konsensus-perubahan-iklim-beli-karbon-bukan-menjual-hutan/
Sudah
jamak diketahui bahwa salah satu fondasi utama dalam perumusan kebijakan
lingkungan global saat ini adalah konsesus perubahan iklim. Seiring dengan itu
juga mulai muncul pertanyaan-pertanyaan kritis, apakah seluruh konsensus
tersebut merepresentasikan kebenaran ilmiah universal, ataukah justru menjadi
bagian dari produk dari dinamika politik kepentingan global yang kompleks? dan
mengapa Amerika Serikat menarik diri dari Perjanjian Paris?
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi titik masuk untuk mengeksplorasi prespektif
lain bagi narasi perubahan iklim global saat ini, terutama dalam konteks
Indonesia.
Keputusan
Amerika Serikat untuk menarik diri dari Perjanjian Paris kerap ditafsirkan
sebagai bentuk penolakan terhadap urgensi perubahan iklim yang telah menjadi
konsensus global. Tafsir ini terlalu menyederhanakan dinamika kompleks yang
melatarbelakangi kebijakan tersebut. Langkah Amerika dapat dibaca sebagai
bentuk perlawanan terhadap narasi dominan komunitas internasional. Kontruksi
narasi tersebut tidak selalu mencerminkan kepentingan strategis semua negara
secara adil dan proporsional. Langkah ini bukan hanya soal penolakan terhadap
sains, melainkan ekspresi kebijakan nasional mereka yang memprioritaskan
kedaulatan energi, ketahanan industri, dan penolakan terhadap dominasi kerangka
kerja iklim internasional yang dianggap menekan secara tidak proporsional oleh
mereka.
Menariknya,
dan apakah ini berkaitan dengan keputusan Amerika? terdapat sejumlah ilmuwan
iklim Amerika yang memiliki pendekatan dan interpretasi ilmiah berbeda dari
konsensus global. Beberapa pakar iklim asal Amerika, seperti Judith Curry dan
John Christy, memberikan kritik terhadap asumsi utama dalam narasi perubahan
iklim sebagai akibat dari aktivitas manusia. Bagi mereka, model iklim global
tidak mencerminkan kompleksitas sistem atmosfer bumi dan cenderung tidak akurat
untuk memproyeksikan realitas jangka panjang. Perubahan iklim memang terjadi,
namun tidak dapat disederhanakan sebagai ancaman global yang akan datang secara
pasti. Mereka berpendapat perlu ada pendekatan berbasis keraguan ilmiah yang
sehat dan keterbukaan terhadap berbagai kemungkinan skenario. Thomas Kuhn dalam
The Structure of Scientific Revolutions (1962) berpendapat bahwa sains
berkembang dalam kerangka paradigma yang saling bersaing, dan konsensus ilmiah
hari ini bisa saja runtuh ketika mulai banyak anomali ditemukan. Sains tidak
selalu hadir sebagai kebenaran tunggal dan final. Ini dapat kita maknai sebagai
kesadaran baru untuk menelaah apakah konsensus ilmiah global tentang perubahan
iklim sudah cukup kuat secara metodologis dan epistemologis, atau terlalu cepat
dipolitisasi oleh negara-negara tertentu yang memiliki kepentingan ekonomi dan
ideologis dalam tata kelola iklim global.
Dalam
konteks ini, posisi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi
sangat kritis. Mereka menjadi terjebak dalam relasi yang tidak setara, diposisikan
sebagai penyedia jasa lingkungan (seperti penyimpanan karbon atau pelestarian
hutan tropis), namun tetap bergantung pada janji transfer dana dan teknologi
yang datang dengan syarat-syarat berat. Konsep “pembangunan rendah karbon” pun
kerap hadir bukan sebagai pilihan bebas, tetapi sebagai syarat agar
negara-negara berkembang tersebut dianggap patuh dan layak didanai.
Penulis
memandang bahwa persoalan utama bukan pada benar atau salahnya fakta ilmiah
tentang perubahan iklim, melainkan bagaimana fakta tersebut dibingkai,
digunakan, dan dimobilisasi dalam sistem global yang tidak setara. Perjanjian
Paris pada dasarnya menempatkan negara berkembang sebagai ‘penyedia karbon’
melalui skema REDD+, carbon offset, dan mekanisme pasar karbon lainnya.
Dalam konteks Indonesia, narasi ini mendorong agar negara ini tetap menghijau
dan menjaga hutannya demi kompensasi, sementara negara-negara maju tetap
leluasa mempertahankan gaya hidup tinggi karbon dengan membeli ruang karbon.
Mungkin
sudah saatnya kita keluar dari posisi sebagai pengemis iklim yang selalu
bergantung pada janji pendanaan negara-negara maju. Kita tidak perlu lagi
mengemis donor atau bantuan iklim yang seringkali dikemas dalam bahasa
solidaritas dan keadilan yang pro lingkungan dan keberlajutan, namun penuh dengan
syarat dan logika pengawasan yang membatasi kedaulatan pembangunan nasional. Indonesia
bisa membalik posisi sebagai negara pembeli karbon. Alih-alih terus
diminta menyediakan karbon melalui konservasi dan moratorium, kita bisa
menuntut negara-negara Eropa untuk menyediakan karbon dalam bentuk ruang
emisi yang bisa kita beli. Tentunya kita tetap menjaga agar pembangunan
tidak merusak lingkungan dan berkelanjutan. Indonesia tidak lagi diposisikan
semata sebagai penjaga paru-paru dunia yang dibayar murah, tetapi sebagai
negara berdaulat yang menentukan sendiri jalur transisinya secara adil dan
kontekstual. Ini juga bisa menjadi jalan tengah antara pembangunan ekonomi dan
tanggung jawab ekologis, tanpa tunduk pada logika hijau yang sering kali dibuat
oleh dan untuk kepentingan global negara-negara maju.
Tulisan
ini tidak dimaksudkan untuk menyangkal kenyataan urgensi perubahan iklim,
tetapi untuk mengajak kita berpikir lebih jernih tentang bagaimana ilmu
pengetahuan, kebijakan, dan geopolitik saling berkelindan. Sikap kritis dan
reflektif diperlukan, bukan sekadar ikut dalam arus konsensus, melainkan juga
berani melawan ketika konsensus tersebut justru melanggengkan ketimpangan dan
subordinasi.
(SiBu
Bayan)