Sabtu, 12 April 2025

Melampaui Konsensus Perubahan Iklim: Beli Karbon, Bukan Menjual Hutan

Catatan Kampus Cikabayan (08|04|2025), dikuat juga di https://pili.or.id/melampaui-konsensus-perubahan-iklim-beli-karbon-bukan-menjual-hutan/

Sudah jamak diketahui bahwa salah satu fondasi utama dalam perumusan kebijakan lingkungan global saat ini adalah konsesus perubahan iklim. Seiring dengan itu juga mulai muncul pertanyaan-pertanyaan kritis, apakah seluruh konsensus tersebut merepresentasikan kebenaran ilmiah universal, ataukah justru menjadi bagian dari produk dari dinamika politik kepentingan global yang kompleks? dan mengapa Amerika Serikat menarik diri dari Perjanjian Paris? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi titik masuk untuk mengeksplorasi prespektif lain bagi narasi perubahan iklim global saat ini, terutama dalam konteks Indonesia.
Keputusan Amerika Serikat untuk menarik diri dari Perjanjian Paris kerap ditafsirkan sebagai bentuk penolakan terhadap urgensi perubahan iklim yang telah menjadi konsensus global. Tafsir ini terlalu menyederhanakan dinamika kompleks yang melatarbelakangi kebijakan tersebut. Langkah Amerika dapat dibaca sebagai bentuk perlawanan terhadap narasi dominan komunitas internasional. Kontruksi narasi tersebut tidak selalu mencerminkan kepentingan strategis semua negara secara adil dan proporsional. Langkah ini bukan hanya soal penolakan terhadap sains, melainkan ekspresi kebijakan nasional mereka yang memprioritaskan kedaulatan energi, ketahanan industri, dan penolakan terhadap dominasi kerangka kerja iklim internasional yang dianggap menekan secara tidak proporsional oleh mereka.
Menariknya, dan apakah ini berkaitan dengan keputusan Amerika? terdapat sejumlah ilmuwan iklim Amerika yang memiliki pendekatan dan interpretasi ilmiah berbeda dari konsensus global. Beberapa pakar iklim asal Amerika, seperti Judith Curry dan John Christy, memberikan kritik terhadap asumsi utama dalam narasi perubahan iklim sebagai akibat dari aktivitas manusia. Bagi mereka, model iklim global tidak mencerminkan kompleksitas sistem atmosfer bumi dan cenderung tidak akurat untuk memproyeksikan realitas jangka panjang. Perubahan iklim memang terjadi, namun tidak dapat disederhanakan sebagai ancaman global yang akan datang secara pasti. Mereka berpendapat perlu ada pendekatan berbasis keraguan ilmiah yang sehat dan keterbukaan terhadap berbagai kemungkinan skenario. Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962) berpendapat bahwa sains berkembang dalam kerangka paradigma yang saling bersaing, dan konsensus ilmiah hari ini bisa saja runtuh ketika mulai banyak anomali ditemukan. Sains tidak selalu hadir sebagai kebenaran tunggal dan final. Ini dapat kita maknai sebagai kesadaran baru untuk menelaah apakah konsensus ilmiah global tentang perubahan iklim sudah cukup kuat secara metodologis dan epistemologis, atau terlalu cepat dipolitisasi oleh negara-negara tertentu yang memiliki kepentingan ekonomi dan ideologis dalam tata kelola iklim global.
Dalam konteks ini, posisi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi sangat kritis. Mereka menjadi terjebak dalam relasi yang tidak setara, diposisikan sebagai penyedia jasa lingkungan (seperti penyimpanan karbon atau pelestarian hutan tropis), namun tetap bergantung pada janji transfer dana dan teknologi yang datang dengan syarat-syarat berat. Konsep “pembangunan rendah karbon” pun kerap hadir bukan sebagai pilihan bebas, tetapi sebagai syarat agar negara-negara berkembang tersebut dianggap patuh dan layak didanai.
Penulis memandang bahwa persoalan utama bukan pada benar atau salahnya fakta ilmiah tentang perubahan iklim, melainkan bagaimana fakta tersebut dibingkai, digunakan, dan dimobilisasi dalam sistem global yang tidak setara. Perjanjian Paris pada dasarnya menempatkan negara berkembang sebagai ‘penyedia karbon’ melalui skema REDD+, carbon offset, dan mekanisme pasar karbon lainnya. Dalam konteks Indonesia, narasi ini mendorong agar negara ini tetap menghijau dan menjaga hutannya demi kompensasi, sementara negara-negara maju tetap leluasa mempertahankan gaya hidup tinggi karbon dengan membeli ruang karbon.
Mungkin sudah saatnya kita keluar dari posisi sebagai pengemis iklim yang selalu bergantung pada janji pendanaan negara-negara maju. Kita tidak perlu lagi mengemis donor atau bantuan iklim yang seringkali dikemas dalam bahasa solidaritas dan keadilan yang pro lingkungan dan keberlajutan, namun penuh dengan syarat dan logika pengawasan yang membatasi kedaulatan pembangunan nasional. Indonesia bisa membalik posisi sebagai negara pembeli karbon. Alih-alih terus diminta menyediakan karbon melalui konservasi dan moratorium, kita bisa menuntut negara-negara Eropa untuk menyediakan karbon dalam bentuk ruang emisi yang bisa kita beli. Tentunya kita tetap menjaga agar pembangunan tidak merusak lingkungan dan berkelanjutan. Indonesia tidak lagi diposisikan semata sebagai penjaga paru-paru dunia yang dibayar murah, tetapi sebagai negara berdaulat yang menentukan sendiri jalur transisinya secara adil dan kontekstual. Ini juga bisa menjadi jalan tengah antara pembangunan ekonomi dan tanggung jawab ekologis, tanpa tunduk pada logika hijau yang sering kali dibuat oleh dan untuk kepentingan global negara-negara maju.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyangkal kenyataan urgensi perubahan iklim, tetapi untuk mengajak kita berpikir lebih jernih tentang bagaimana ilmu pengetahuan, kebijakan, dan geopolitik saling berkelindan. Sikap kritis dan reflektif diperlukan, bukan sekadar ikut dalam arus konsensus, melainkan juga berani melawan ketika konsensus tersebut justru melanggengkan ketimpangan dan subordinasi.
(SiBu Bayan)